KEPEMIMPINAN WANITA PRESPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH (PROPOSAL)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam panggung sejarah, pembicaraan terhadap wacana gender, feminisme dan kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari emansipasi, demokratisasi dan humanisasi kebudayaan. Dari waktu ke waktu, gugatan dan pembongkaran terhadap struktur ketidakadilan, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan nampaknya semakin meluas dan menggugat.
Berbicara tentang kepemimpinan perempuan sampai saat ini dikalangan masyarakat masih menimbulkan perbedaan pendapat. Hal ini dimungkinkan karena latar belakang budaya, kedangkalan agama, peradaban dan kondisi sosial kehidupan manusia sehingga menyebabkan terjadinya benturan dan perbedaan persepsi dikalangan masyarakat.
Sebagai agama yang ajarannya sempurna, Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara baik sebagai hamba (`Abid) maupun posisinya sebagai penguasa bumi (kholifatullah fil ardh). Kepemimpinan perempuan menurut Islam diperbolehkan selama kepemimpinan itu baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun Islam memberikan batasan terhadap perempuan disebabkan karena beberapa kendala kodrati yang dimilikinya seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dimana hal itu menyebabkan kondisi perempuan saat itu lemah, sementara seorang pemimpin membutuhkan kekuatan fisik maupun akal.
 Seorang pemimpin ideal harus memiliki kriteria kemampuan memimpin, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, mencintai kebenaran dan mampu menegakkan hukum. Setidaknya ada dua pendapat mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam. Pendapat pertama mangatakan bahwa wanita dalam Islam tidak bisa menjadi pemimpin dalam kehidupan publik, Sementara pendapat kedua menyatakan sebaliknya bahwa sejalan dengan konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam maka wanita boleh menjadi pemimpin dalam masyarakat atau dalam kehidupan publik (Nursyahbani, 2001: 21).
Alasan lain yang sering dijadikan sandaran bagi inferioritas perempuan adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:
Artinya :”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (Depag RI, 2003: 203).

Ayat ini dianggap paling eksplisit berbicara mengenai supremasi laki-laki dan bahwa hal itu adalah sebagai suatu yang given, sesuatu yang ascribed, sudah diberikan sejak lahir.
Al-Hibri mengatakan bahwa kalau kita cermati lebih lanjut dari segi bahasa Arab maka akan tampak bahwa pertama, kata “qawwamun” tidak harus berarti “pemimpin” tetapi arti-arti lain seperti “pelindung” atau “penanggung jawab”; dan kedua, bahwa “qiwam” atau “qawwamun” itu sebagian memang ascribed (menganggap berasal) tetapi sebagian lainnya adalah acquired (yang diperoleh). Kenapa demikian? Karena kepemimpinan atau tanggung jawab itu juga lahir sebagai akibat pria membelanjakan harta bendanya untuk perempuan. Hal yang harus diingat adalah peranan menafkahkan harta itu sesuatu yang acquired, bukan ascribed. Biarpun laki-laki, kalau tidak memiliki harta, tentu tidak dapat berperan sebagai pemimpin. Sebaliknya, biarpun wanita, kalau ia memiliki harta untuk dibelanjakan bagi keluarganya, maka ia bisa juga menjadi pemimpin (Nursyahbani, 2005: 26).
Ini berarti bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan sesuatu yang telah melekat sejak lahir. Ini juga berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak kepemimpinan dalam kehidupan, tergantung siapa yang berhasil memperoleh kualitas itu (Nursyahbani, 2005: 27).
Dalam Al Qur’an Surat Taubah ayat 71:
Artinya: dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Jacobs & Jacques mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[1] Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[2]
Dalam bukunya marno definisi kepemimpinan dipahami sebagai segala daya dan upaya bersama untuk menggerakkan semua sumber dan alat yang tersedia dalam suatu organisasi.[3] kemudian dalam bukunya sugeng listyo kepemimpinan adalah suatu proses dalam memimpin untuk memberikan pengaruh secara sosial kepada orang lain sehingga orang lain tersebut menjalankan suatu proses sebagaimana diinginkan oleh seorang pemimpin.[4]
Pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan mengkoordinasikan aktifitas groupnya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan membutuhkan staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang dikenal dengan kepemimpinan.
Dalam agama Islam terkenal dengan sebutan imamah yang menurut bahasa berarti ‚kepemimpinan‛, seperti ketua atau yang lainnya baik ia memberi petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat.
Dalam panggung sejarah, pembicaraan terhadap wacana gender, feminisme dan kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari emansipasi, demokratisasi dan humanisasi kebudayaan. Dari waktu ke waktu, gugatan dan pembongkaran terhadap struktur ketidakadilan, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan nampaknya semakin meluas dan menggugat.
Berbicara tentang kepemimpinan perempuan sampai saat ini dikalangan masyarakat masih menimbulkan perbedaan pendapat. Hal ini dimungkinkan karena latar belakang budaya, kedangkalan agama, peradaban dan kondisi sosial kehidupan manusia sehingga menyebabkan terjadinya benturan dan perbedaan persepsi dikalangan masyarakat.
Kepemimpinan wanita bila dilihat dari sejarah sepanjang masa sering kali dilihat dari kacamata laki-laki. Tak semua wanita dapat diakui sebagai pemimin, hanya wanita-wanita yang memenuhi standar kepemimpinan laki-laki yang dapat diakui efektivitasnya (klenke, dalam mangunsong, 2009). Persentase wanita sebagai pemimpin jika dibandingkan populasi wanita secara keseluruhan juga jauh lebih rendah dibandingkan persentase laki-laki sebagai pemimpin.
Ada berbagai isu tentang kepemimpinan wanita, ntara lain mengenai kesetaraan gender. Didalam isu tersebut muncul permasalahan  yang saat ini dihadapi oleh wanita ketika bersinggungan dengan peran sebagai pemimpin yang selama ini diidentikan dengan laki-laki. Yang menyebabkan banyak orang beransumsi bahwa ada perbedaan signifikan dalam kemampuan atau gaya memimpin antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Kurangnya pemimpin wanita disebabkan adanya stereotipe sosial yang menghambat wanita untuk memimpin, padahal sebenarnya perbedaan kemampuan memimpin antara wanita dan pria itu tidaklah begitu besar. Misal wanita kerap dianggap tidak dapat memimpin atau dalam kata lain tidak mempunyai potensi mempimpin dibanding dengan laki-laki. Namun anggapan tersebut sebenarnya  tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara epiris.
Kepemimimpina wanita merupakan masalah kontroversial dikalangan umat islam. Sejumlah ulama memandang bahwa agama (islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah bahwa teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya, bahwa seorang wanita sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits haruslah senantiasa di maknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik yang melingkupinya. Koteks sosial politik yang berkembang pada mas turunnya teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini. Tidak ada alasan untuk melarang wanita menjadi pemimpin, sah saja seorang wanita menjadi pemimpin.
Kesetaraan gender mulai banyak dikaji dikalangan akademis indonesia. Kajian tentang masalah wanita ini muncul lebih disebabkan oleh rasa keprihatinan terhadap realitas posisi wanita dalam berbagai lini kehidupan. Posisi wanita selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga dan rumah tangga, sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan diluar rumah.
Begitu pula budaya diberbagai kalangan, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan dikontruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian perempuan. Pengaruh mitos tersebut mengendap dialam bawah sadar perempuan sekian lama sehingga perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai subordinasi laki-laki dan tidak layak sejajar dengannya.
Posisi wanita didalam masyarakat kurang disadari oleh kaum wanita sendiri bahkan tidak jarang sekelompok wanita merasa nyaman dengan kondisi tersebut walaupun sekelompok lainnya merasa prihatin. Sehingga dominasi laki-laki dan perempuan merupakan pola hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat. Maka dari itu, tidak heran jika hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bersifat alami atau kodrati.
Posisi peremuan yang lemah dan posisi laki-laki yang kuat , diberbagai kelompok masyarakat dalam lintasan sejarah selalu ditemukan. Misalnya dalam masyarakat primitif, umumnya peran sosila ekonomi terpola pada dua bagian, yaitu pemburu untuk kaum laki-laki dan peramu untuk kaum wanita. Berarti hal ini menandai bahwa kaum laki-laki memperoleh kesempatan lebih besar untuk memperoleh pengakuan dan prestise di wilayah publik. Sedangkan dalam masyarakat hortikultura, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin tidaklah terlalu tampak, karena wanita dianggap dapat dan mampu untuk melakukan usaha sebagai laki-laki. Wanita malah memperleh kedudukan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki pada masyarakat primitif. Namun secara umum, peran politik dalam masyarakat ini tetap didominasi oleh kaum laki-laki.
Pola hubungan ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam perjalanan sejarah panjang umat manusia, dari segi sosial, ekonomi, budaya, politik termasuk pula penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme mengkaji secara kritis  berbagai macam pola hubungan laki-laki dan perempuan yang ada dan berkembang dimasyarakat dengan menggunkan paradigma kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Berbicara tentang al-Qur’an, definisi yang bisa mewakilinya adalah kalam Allah yang dikomunikasikan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Al-Qur’an dijadikan Allah dalam bentuk mushaf-mushaf yang dikutip secara mutawatir sehingga dapat diterima dan dipahami dengan benar serta terjaga kelestariannya.[5]
Al-Qur’an yang dikomunikasikan Allah SWT kepada hamba-Nya meminjam bahasa Arab sebagai sarana untuk menerjemahkannya. Hal itu karena sasaran pertamanya adalah masyarakat Arab. Dengan demikian, dipinjamlah bahsa Arab untuk mengkomunikasikan pesan-pesan Allah agar dapat dipaahami oleh sasaran. Namun, al-Qur’an tetap saja perlu ditafsirkan karena ada beberapa terminologi pra-Islam yang diubah.[6]
Di sisi lain, al-Qur’an tidak dipahami sama dari waktu ke waktu. Sebaliknya, al-Qur’an dipahami secara selaras seiring dengan perubahan zaman. Oleh sebab itu, tafsir berupaya menjelaskan pesan-pesan Allah yang tersimpan dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, tafsir berupaya agar pesan-Nya dapat dipahami manusia. Di samping itu, tafsir juga berupaya menjabarkan redaksi teks kalam-Nya yang begitu singkat serta padat sehingga dipaham secara baik dan benar. Sementara itu, berkaitan dengan redaksi yang memiliki keserupaan, tafsir berusaha menarjih makna yang lebih mendekati kebenaran.[7]
Pengertian dari tafsir sendiri dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja fassara yufassiru tafsiran yang mengikuti pola fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan. Asalnya adalah kata fasara-yafsiru-fasran yang bermakna “membuka”. Menurut Ma’sum bin Ali dalam al-Amsilah at-Tasrifiyyah, penggunaan wazan fa’ala berfungsi membentuk kata kerja transitif. Dengan demikian, makna fassara adalah “menjelaskan” dan “menerangkan”.[8]
Sedangkan definisi tafsir dari segi terminologi banyak terjadi perbedaan, akan tetapi secara garis besar kesemuanya mmengakui bahwa tafsir merupakan aktivitas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.[9]
Adapun beberapa manfaat dari tafsir adalah pertama, tafsir menjelaskan makna-makna yang sulit dipahami. Kedua, tafsir menerangkan penjelasan yang kiranya terbuang. Ketiga, tafsir menjelaskan kemungkinan makna yang dikehendaki oleh pengirim wahyu.[10]
Generasi mufasir dibagi menjadi tiga periode. Yaitu periode klasik, periode pertengahan dan peride kontemporer.
 Periode klasik menurut Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dimulai dari tahun 650 hingga 1250 M. periode klasik ini mencakup masa Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, periode klasik merentang dari masa Rasulullah SAW. sampai masa pembukuan (akhir periode Daulah Bani Umayah atau awal periode Daulah Bani Abbasiyah), yakni abad 1 H sampai 2 H.[11]Periode pertengahan dimulai semenjak abad ke-9 M hingga abad ke-20 M. Menurut kategorisasi Harun Nasution, periode pertengahan dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M. [12]Perode kontemporer berlangsung selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Beberapa mufasir yang tergabung dalam generasi mufasir kontemporer misalnya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Abbas al-Aqqad, Abu al-‘Ala al-Maududi,Muhammad Abu Zahrah, M. Quraish Shihab dan masih banyak lagi.[13]
Disini penulis tertarik kepada tokoh M. Quraish Shihab sebagai objek penelitian. Karena ia mempunyai mahakarya tafsir yang membumbungkan namanya sebagai salah satu mufasir Indonesia yang disegani, karena mampu menulis tafsir al-Qur’an 30 juz dengan sangat akbar dan mendetail hingga 15 jilid/ volume.Ia menafsirkan al-Qur’an secara runtut sesuai dengan tertib susunan ayat dan surah.[14]
Dalam hal ini penulis akan menjadikan Tafsir al-Mishbah sebagai alat untuk menjelaskan tema yang diangkat yakni Kepemimpinan wanita perspektif al-Qur’an. M. Quraish shihab beranggapan bahwa penafsiran yang telah diberikan oleh kaum sufi terhadap makna kepemimpinan dalam Islam, dirasa kurang menguntungkan, karena hampir semuanya berkaitan dengan pandangan pesimistis. Seharusnya seorang pemimpin yang sejati adalah mereka yang mampu bersikap integrative, inklusif dan mendunia, sehingga penerapan sikap pemimpin betul-betul fungsional dan mampu menjawab problem keduniaan yang dirasakan semakin rumit ini.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas dirasa perlu dilakukan penelitian tentang kepemimpinan wanita dalam pandangan al-Qur’an berdasarkan tafsir al-Mishbah yang dirasa lebih sesuai dengan keadaan zaman sekarang sehingga penelitian ini mengambil judul: “Kepemimpinan wanita dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab”.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hakikat kepemimpinan?
2.   Bagaimana Penafsiran kepemimpinan wanitaDalam Kitab Tafsir al-Mishbah Karya M.Quraish Shihab?

C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui hakikat dari pemimpin.
2.      Untuk mengetahui penafsiran mengenai kepemimpinan wanita dalam tafsir al-Mishbah  karya M.Quraish Shihab.

D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan penelitian di atas, diharapkan dapat memberikan manfaat antaralain:
1.         Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran keagamaan dan menambah khazanah literatur studi tafsir.
2.         Sebagai pengembangan studi al-Qur’an dan wacana bagi khazanah keilmuan khusunya di bidang al-Qur’an dan tafsirnya untuk mencapai pemahaman yang selalu berorientasikan dengan konsep al-Qur’an yang benar.
3.         Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang makna kepemimpinan wanita dengan melakukan penelitian dalam Kitab Tafsir al-Misbah karya M.Quraish Syihab.
4.         Secara praktis memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat tentang kepemimpinan dalam al-Qur’an dan dapat menerapkannya sesuai dengan perkembangan zaman.
5.         Secara pribadi untuk mengembangkan intelektualitas dan keilmuan dalam rangka memenuhi tugas akhir Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN Tulungagung.
E.     Penegasan Istilah
Untuk memberikan suatu kejelasan tentang judul yang diangkat dala kajian ini, penulis menguatkan kembali kata-kata yang di gunakan agar tidak terjadi kerancauan dan multitafsir. Adapun penegasan istilah dalam pembagian ini adalah meliputi Kepemimpinan wanita dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir al-Mishbah Karya M.Quraish Shihab.
1.      Konsepsi
Konsepsi adalah rancangan  (cita-cita dsb) yang telah ada dalam pikiran.[15]
2.      Kepemimpinan
 Kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT (Zainuddin, 2005: 17).
3.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang dikomunikasikan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Al-Qur’an dijadikan Allah dalam bentuk mushaf-mushaf yang dikutip secara mutawatir sehingga dapat diterima dan dipahami dengan benar serta terjaga kelestariannya.[16]
4.      Perspektif
Perspektif adalah sudut pandang atau pandangan.[17]
5.      Tafsir al-Mishbah kitab tafsir Al-Akbar karya M.Quraish Shihab.
Adapun maksud penulis berdasarkan uraian diatas terkait dengan skripsi ini adalah analisa tentang pemikiran M. Quraish shihab mengenai kepemimpinan wanita yang tertuang dalam al-Qur’an berdasarkan kitab tafsirnya “Al-Mishbah”.
F.     Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah memahami pembahasan dalam skripsi ini, maka disusun sitematika penulisan sebagai berikut:
            BAB I PENDAHULUAN
                        Dalam bab ini berisi latar belakang masalah yang memaparkan kerangka berfikir dalam tulisan ini. Kemudian rumusan masalah yang dihadirkan untuk menspesialisasikan arah pembahasan serta tujuan dari pembahasan masalah. Dianjutkan dengan metode penelitian dan ditutup dengan sistematika penelitian yang berisi tentang kerangka pembahasan yang ada dalam peneitian ini.
            BAB II MENGENAL M.QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR MISHBAH
                        Dalam bab ini penulis memaparkan tentang biografi M. Quraish Shihab dan rekanjejak keilmuan beliau. Selain itu dalam bab ini juga menjelaskan karya-karya M. Quraish Shihab serta karakterisik umum Kitab Tafsir Al-Mishbah
            BAB III PEMBAHASAN UMUM TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA
                        Dalam bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai kepemimpinan dan wanita, seperti pengertian pemimpin, aplikasi kepemimpinan pada masa Nabi Muhammad serta para sahabat dan semua yang masih berkaitan dengan kepemimpinan wanita
            BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN WANITADALAM KITAB AL-MISHBAHDAN PENERAPANNYA PADA ZAMAN SEKARANG
                        Dalam bab ini akan menjelaskan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan wanita serta penafsiran M.Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya “Al-Mishbah”. Adapun ayat-ayat yang akan dibahas dalam bab ini diantaranya ialah Q.S. al-taubah ayat 71 Q.S. an-Nisa’ ayat 1 dan 34. Selain itu bab ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana penerapan dari penafsiran ayat-ayat kepemimpinan wanita pada zaman sekarang.
BAB V PENUTUP
                        Dalam bab ini berisi kesimpulan dari berbagai pembahasan yang telah dipaparkan diatas dan merupakan pokok dari penelitian ini yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada pada rumusan masalah. Selain itu dalam bab ini juga berisi saran-saran atas permasalahan yang timbul seputar tema yang dibahas.




[1]Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam Organisasi, terj. Jusuf Udaya (Jakarta: Prenhallind, 1994),hal 2
[2]Ibid
[3]Marno dan Trio Supriyatno. Manajemen dan kepemimpinan pendidikan Islam (Bandung: Revuka Aditama, 2008), 29
[4] Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/ Madrasah (Malang: UIN Press, 2008), 12
[5]Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 22
[6]Ibid,
[7]Ibid,hlm. 17.
[8]Saiful Amin Ghafur , Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 6
[9]Ibid, hlm. 7.
[10]Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 21.
[11]Saiful Amin Ghafur , Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm 21.
[12]Ibid, hlm. 25.
[13]Ibid, hlm. 27-28.
[14]Ibid, hlm. 238.
[15]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline
[16]Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 22.
[17]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline

Komentar

  1. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, tulisannya sangat Bagus sekali, saya minta izin jadikan tugas contoh proposal iat saya ya, dalam buku, jazakallah khayran

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum.. Tulisan nya sangat bagus. Saya memohon izin kepada pengarang untuk menjadikan contoh dalam mata kuliah IAT saya. Syukran jazzilan wa jazakallah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MADZAB TAFSIR “Pengertian, wilayah kajian dan signifikansinya”

Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan “Tafsir Indonesia”

Penulisan AL-Quran atau Rasm AL-Quran