KEPEMIMPINAN WANITA PRESPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH (PROPOSAL)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam panggung
sejarah, pembicaraan terhadap wacana gender, feminisme dan kesetaraan laki-laki
dan perempuan merupakan bagian dari emansipasi, demokratisasi dan humanisasi
kebudayaan. Dari waktu ke waktu, gugatan dan pembongkaran terhadap struktur
ketidakadilan, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan
nampaknya semakin meluas dan menggugat.
Berbicara
tentang kepemimpinan perempuan sampai saat ini dikalangan masyarakat masih
menimbulkan perbedaan pendapat. Hal ini dimungkinkan karena latar belakang
budaya, kedangkalan agama, peradaban dan kondisi sosial kehidupan manusia
sehingga menyebabkan terjadinya benturan dan perbedaan persepsi dikalangan
masyarakat.
Sebagai agama
yang ajarannya sempurna, Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi
yang setara baik sebagai hamba (`Abid) maupun posisinya sebagai penguasa bumi
(kholifatullah fil ardh). Kepemimpinan
perempuan menurut Islam diperbolehkan selama kepemimpinan itu baik dan bisa
dipertanggungjawabkan. Namun Islam memberikan batasan terhadap perempuan
disebabkan karena beberapa kendala kodrati yang dimilikinya seperti menstruasi,
mengandung, melahirkan dan menyusui. Dimana hal itu menyebabkan kondisi
perempuan saat itu lemah, sementara seorang pemimpin membutuhkan kekuatan fisik
maupun akal.
Seorang pemimpin ideal harus memiliki kriteria
kemampuan memimpin, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, mencintai
kebenaran dan mampu menegakkan hukum. Setidaknya ada dua pendapat mengenai
kepemimpinan wanita dalam Islam. Pendapat pertama mangatakan bahwa wanita dalam
Islam tidak bisa menjadi pemimpin dalam
kehidupan publik, Sementara pendapat kedua menyatakan sebaliknya bahwa sejalan
dengan konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam maka wanita boleh menjadi
pemimpin dalam masyarakat atau dalam kehidupan publik (Nursyahbani, 2001: 21).
Alasan lain
yang sering dijadikan sandaran bagi inferioritas perempuan adalah Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:
Artinya :”Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki)
Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar (Depag RI, 2003: 203).
Ayat
ini dianggap paling eksplisit berbicara mengenai supremasi laki-laki dan bahwa
hal itu adalah sebagai suatu yang given, sesuatu yang ascribed,
sudah diberikan sejak lahir.
Al-Hibri
mengatakan bahwa kalau kita cermati lebih lanjut dari segi bahasa Arab maka
akan tampak bahwa pertama, kata “qawwamun” tidak harus berarti “pemimpin”
tetapi arti-arti lain seperti “pelindung” atau “penanggung jawab”; dan kedua,
bahwa “qiwam” atau “qawwamun” itu sebagian memang ascribed (menganggap
berasal) tetapi sebagian lainnya adalah acquired (yang diperoleh).
Kenapa demikian? Karena kepemimpinan atau tanggung jawab itu juga lahir sebagai
akibat pria membelanjakan harta bendanya untuk perempuan. Hal yang harus
diingat adalah peranan menafkahkan harta itu sesuatu yang acquired, bukan
ascribed. Biarpun laki-laki, kalau tidak memiliki harta, tentu tidak
dapat berperan sebagai pemimpin. Sebaliknya, biarpun wanita, kalau ia memiliki
harta untuk dibelanjakan bagi keluarganya, maka ia bisa juga menjadi pemimpin
(Nursyahbani, 2005: 26).
Ini
berarti bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dilatih dan diupayakan,
bukan sesuatu yang telah melekat sejak lahir. Ini juga berarti bahwa baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak kepemimpinan dalam
kehidupan, tergantung siapa yang berhasil memperoleh kualitas itu (Nursyahbani,
2005: 27).
Dalam Al Qur’an Surat Taubah ayat 71:
Artinya:
dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Jacobs & Jacques mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah
proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang
mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai
sasaran.[1] Sedangkan
menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik kepemimpinan adalah pengaruh antar
pribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan
melalui proses komunikasi ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan
tertentu.[2]
Dalam bukunya marno definisi kepemimpinan dipahami sebagai segala
daya dan upaya bersama untuk menggerakkan semua sumber dan alat yang tersedia
dalam suatu organisasi.[3] kemudian dalam
bukunya sugeng listyo kepemimpinan adalah suatu proses dalam memimpin untuk
memberikan pengaruh secara sosial kepada orang lain sehingga orang lain
tersebut menjalankan suatu proses sebagaimana diinginkan oleh seorang pemimpin.[4]
Pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan
mengkoordinasikan aktifitas groupnya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan
yang diinginkan membutuhkan staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang
dikenal dengan kepemimpinan.
Dalam agama Islam terkenal dengan sebutan imamah yang menurut
bahasa berarti ‚kepemimpinan‛, seperti ketua atau yang lainnya baik ia memberi
petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau
pemimpin tertinggi rakyat.
Dalam panggung sejarah, pembicaraan terhadap wacana gender,
feminisme dan kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari
emansipasi, demokratisasi dan humanisasi kebudayaan. Dari waktu ke waktu,
gugatan dan pembongkaran terhadap struktur ketidakadilan, diskriminasi,
penindasan dan kekerasan terhadap perempuan nampaknya semakin meluas dan
menggugat.
Berbicara tentang kepemimpinan perempuan sampai saat ini dikalangan
masyarakat masih menimbulkan perbedaan pendapat. Hal ini dimungkinkan karena
latar belakang budaya, kedangkalan agama, peradaban dan kondisi sosial
kehidupan manusia sehingga menyebabkan terjadinya benturan dan perbedaan persepsi
dikalangan masyarakat.
Kepemimpinan
wanita bila dilihat dari sejarah sepanjang masa sering kali dilihat dari
kacamata laki-laki. Tak semua wanita dapat diakui sebagai pemimin, hanya
wanita-wanita yang memenuhi standar kepemimpinan laki-laki yang dapat diakui
efektivitasnya (klenke, dalam mangunsong, 2009). Persentase wanita sebagai
pemimpin jika dibandingkan populasi wanita secara keseluruhan juga jauh lebih
rendah dibandingkan persentase laki-laki sebagai pemimpin.
Ada berbagai
isu tentang kepemimpinan wanita, ntara lain mengenai kesetaraan gender. Didalam
isu tersebut muncul permasalahan yang
saat ini dihadapi oleh wanita ketika bersinggungan dengan peran sebagai
pemimpin yang selama ini diidentikan dengan laki-laki. Yang menyebabkan banyak
orang beransumsi bahwa ada perbedaan signifikan dalam kemampuan atau gaya
memimpin antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Kurangnya
pemimpin wanita disebabkan adanya stereotipe sosial yang menghambat wanita
untuk memimpin, padahal sebenarnya perbedaan kemampuan memimpin antara wanita
dan pria itu tidaklah begitu besar. Misal wanita kerap dianggap tidak dapat
memimpin atau dalam kata lain tidak mempunyai potensi mempimpin dibanding
dengan laki-laki. Namun anggapan tersebut sebenarnya tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara
epiris.
Kepemimimpina
wanita merupakan masalah kontroversial dikalangan umat islam. Sejumlah ulama
memandang bahwa agama (islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya
adalah bahwa teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan
adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya, bahwa
seorang wanita sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur’an dan
Al-Hadits haruslah senantiasa di maknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata
tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik
yang melingkupinya. Koteks sosial politik yang berkembang pada mas turunnya
teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam
konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini. Tidak ada alasan untuk
melarang wanita menjadi pemimpin, sah saja seorang wanita menjadi pemimpin.
Kesetaraan
gender mulai banyak dikaji dikalangan akademis indonesia. Kajian tentang
masalah wanita ini muncul lebih disebabkan oleh rasa keprihatinan terhadap
realitas posisi wanita dalam berbagai lini kehidupan. Posisi wanita selalu
dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga
dan rumah tangga, sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan
publik, yang berhubungan dengan urusan diluar rumah.
Begitu pula
budaya diberbagai kalangan, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan
dikontruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian perempuan.
Pengaruh mitos tersebut mengendap dialam bawah sadar perempuan sekian lama
sehingga perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai subordinasi laki-laki dan
tidak layak sejajar dengannya.
Posisi wanita
didalam masyarakat kurang disadari oleh kaum wanita sendiri bahkan tidak jarang
sekelompok wanita merasa nyaman dengan kondisi tersebut walaupun sekelompok
lainnya merasa prihatin. Sehingga dominasi laki-laki dan perempuan merupakan
pola hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat. Maka
dari itu, tidak heran jika hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
alami atau kodrati.
Posisi peremuan
yang lemah dan posisi laki-laki yang kuat , diberbagai kelompok masyarakat
dalam lintasan sejarah selalu ditemukan. Misalnya dalam masyarakat primitif,
umumnya peran sosila ekonomi terpola pada dua bagian, yaitu pemburu untuk kaum
laki-laki dan peramu untuk kaum wanita. Berarti hal ini menandai bahwa kaum
laki-laki memperoleh kesempatan lebih besar untuk memperoleh pengakuan dan
prestise di wilayah publik. Sedangkan dalam masyarakat hortikultura, pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin tidaklah terlalu tampak, karena wanita dianggap
dapat dan mampu untuk melakukan usaha sebagai laki-laki. Wanita malah memperleh
kedudukan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki pada masyarakat primitif.
Namun secara umum, peran politik dalam masyarakat ini tetap didominasi oleh
kaum laki-laki.
Pola hubungan
ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam perjalanan sejarah panjang
umat manusia, dari segi sosial, ekonomi, budaya, politik termasuk pula
penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme mengkaji secara kritis berbagai macam pola hubungan laki-laki dan
perempuan yang ada dan berkembang dimasyarakat dengan menggunkan paradigma kesetaraan
laki-laki dan perempuan.
Berbicara tentang al-Qur’an, definisi yang bisa mewakilinya adalah
kalam Allah yang dikomunikasikan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW dalam
bahasa Arab. Al-Qur’an dijadikan Allah dalam bentuk mushaf-mushaf yang dikutip
secara mutawatir sehingga dapat diterima dan dipahami dengan benar serta
terjaga kelestariannya.[5]
Al-Qur’an yang dikomunikasikan Allah SWT kepada hamba-Nya meminjam
bahasa Arab sebagai sarana untuk menerjemahkannya. Hal itu karena sasaran
pertamanya adalah masyarakat Arab. Dengan demikian, dipinjamlah bahsa Arab
untuk mengkomunikasikan pesan-pesan Allah agar dapat dipaahami oleh sasaran.
Namun, al-Qur’an tetap saja perlu ditafsirkan karena ada beberapa terminologi
pra-Islam yang diubah.[6]
Di sisi lain, al-Qur’an tidak dipahami sama dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, al-Qur’an dipahami secara selaras seiring dengan perubahan zaman.
Oleh sebab itu, tafsir berupaya menjelaskan pesan-pesan Allah yang tersimpan
dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, tafsir berupaya agar pesan-Nya dapat
dipahami manusia. Di samping itu, tafsir juga berupaya menjabarkan redaksi teks
kalam-Nya yang begitu singkat serta padat sehingga dipaham secara baik dan
benar. Sementara itu, berkaitan dengan redaksi yang memiliki keserupaan, tafsir
berusaha menarjih makna yang lebih mendekati kebenaran.[7]
Pengertian dari tafsir sendiri dilihat dari segi bahasa merupakan
bentuk masdar dari kata kerja fassara yufassiru tafsiran yang
mengikuti pola fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan. Asalnya adalah kata fasara-yafsiru-fasran
yang bermakna “membuka”. Menurut Ma’sum bin Ali dalam al-Amsilah
at-Tasrifiyyah, penggunaan wazan fa’ala berfungsi membentuk kata
kerja transitif. Dengan demikian, makna fassara adalah “menjelaskan” dan
“menerangkan”.[8]
Sedangkan definisi tafsir dari segi terminologi banyak terjadi
perbedaan, akan tetapi secara garis besar kesemuanya mmengakui bahwa tafsir
merupakan aktivitas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.[9]
Adapun beberapa manfaat dari tafsir adalah pertama, tafsir
menjelaskan makna-makna yang sulit dipahami. Kedua, tafsir menerangkan
penjelasan yang kiranya terbuang. Ketiga, tafsir menjelaskan kemungkinan
makna yang dikehendaki oleh pengirim wahyu.[10]
Generasi mufasir dibagi menjadi tiga periode. Yaitu periode klasik,
periode pertengahan dan peride kontemporer.
Periode klasik menurut Harun
Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dimulai dari tahun
650 hingga 1250 M. periode klasik ini mencakup masa Nabi SAW., sahabat dan
tabi’in. Dengan kata lain, periode klasik merentang dari masa Rasulullah SAW.
sampai masa pembukuan (akhir periode Daulah Bani Umayah atau awal periode
Daulah Bani Abbasiyah), yakni abad 1 H sampai 2 H.[11]Periode pertengahan dimulai semenjak abad ke-9 M hingga abad ke-20
M. Menurut kategorisasi Harun Nasution, periode pertengahan dimulai sejak 1250
M hingga 1800 M. [12]Perode kontemporer berlangsung selepas tahun 1800 M sampai
sekarang. Beberapa mufasir yang tergabung dalam generasi mufasir kontemporer
misalnya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Abbas al-Aqqad, Abu al-‘Ala al-Maududi,Muhammad
Abu Zahrah, M. Quraish Shihab dan masih banyak lagi.[13]
Disini penulis tertarik kepada tokoh M. Quraish Shihab sebagai
objek penelitian. Karena ia mempunyai mahakarya tafsir yang membumbungkan
namanya sebagai salah satu mufasir Indonesia yang disegani, karena mampu
menulis tafsir al-Qur’an 30 juz dengan sangat akbar dan mendetail hingga 15
jilid/ volume.Ia menafsirkan al-Qur’an secara runtut sesuai dengan tertib
susunan ayat dan surah.[14]
Dalam hal ini penulis akan menjadikan Tafsir al-Mishbah sebagai
alat untuk menjelaskan tema yang diangkat yakni Kepemimpinan wanita perspektif al-Qur’an. M. Quraish shihab beranggapan bahwa penafsiran yang telah diberikan oleh kaum sufi
terhadap makna kepemimpinan dalam Islam,
dirasa kurang menguntungkan, karena hampir semuanya berkaitan dengan pandangan
pesimistis. Seharusnya seorang pemimpin yang sejati
adalah mereka yang mampu bersikap integrative, inklusif dan mendunia, sehingga
penerapan sikap pemimpin betul-betul
fungsional dan mampu menjawab problem keduniaan yang dirasakan semakin rumit
ini.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas dirasa perlu
dilakukan penelitian tentang kepemimpinan wanita
dalam pandangan al-Qur’an berdasarkan tafsir al-Mishbah
yang dirasa lebih sesuai dengan keadaan zaman sekarang sehingga penelitian ini
mengambil judul: “Kepemimpinan wanita
dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Hakikat
kepemimpinan?
2.
Bagaimana
Penafsiran
kepemimpinan wanitaDalam Kitab Tafsir al-Mishbah Karya
M.Quraish Shihab?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui hakikat dari pemimpin.
2.
Untuk
mengetahui penafsiran mengenai kepemimpinan wanita
dalam tafsir al-Mishbah karya
M.Quraish Shihab.
D.
Kegunaan
Penelitian
Dari tujuan penelitian di atas, diharapkan dapat memberikan manfaat
antaralain:
1.
Secara
akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan pemikiran keagamaan dan menambah khazanah literatur studi tafsir.
2.
Sebagai
pengembangan studi al-Qur’an dan wacana bagi khazanah keilmuan khusunya di
bidang al-Qur’an dan tafsirnya untuk mencapai pemahaman yang selalu
berorientasikan dengan konsep al-Qur’an yang benar.
3.
Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran
tentang makna kepemimpinan
wanita dengan melakukan penelitian dalam Kitab Tafsir al-Misbah karya
M.Quraish Syihab.
4.
Secara praktis memberikan sumbangan pengetahuan kepada
masyarakat tentang kepemimpinan dalam al-Qur’an dan dapat menerapkannya sesuai dengan perkembangan
zaman.
5.
Secara pribadi untuk mengembangkan intelektualitas dan
keilmuan dalam rangka memenuhi tugas akhir Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir di IAIN Tulungagung.
E.
Penegasan
Istilah
Untuk memberikan suatu kejelasan tentang judul yang diangkat dala kajian
ini, penulis menguatkan kembali kata-kata yang di gunakan agar tidak terjadi
kerancauan dan multitafsir. Adapun penegasan istilah dalam pembagian ini adalah
meliputi Kepemimpinan wanita dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir al-Mishbah Karya M.Quraish Shihab.
1.
Konsepsi
2.
Kepemimpinan
Kepemimpinan
merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggung jawabkan
kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT (Zainuddin, 2005: 17).
3.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang dikomunikasikan kepada manusia
melalui Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Al-Qur’an dijadikan Allah dalam
bentuk mushaf-mushaf yang dikutip secara mutawatir sehingga dapat diterima dan
dipahami dengan benar serta terjaga kelestariannya.[16]
4.
Perspektif
5.
Tafsir
al-Mishbah kitab tafsir Al-Akbar karya M.Quraish Shihab.
Adapun maksud penulis berdasarkan uraian diatas terkait
dengan skripsi ini adalah analisa tentang pemikiran M. Quraish shihab mengenai
kepemimpinan wanita yang tertuang dalam al-Qur’an berdasarkan kitab tafsirnya “Al-Mishbah”.
F.
Sistematika
Pembahasan
Untuk mempermudah memahami pembahasan dalam skripsi ini, maka
disusun sitematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi
latar belakang masalah yang memaparkan kerangka berfikir dalam tulisan ini.
Kemudian rumusan masalah yang dihadirkan untuk menspesialisasikan arah
pembahasan serta tujuan dari pembahasan masalah. Dianjutkan dengan metode
penelitian dan ditutup dengan sistematika penelitian yang berisi tentang
kerangka pembahasan yang ada dalam peneitian ini.
BAB II MENGENAL M.QURAISH SHIHAB
DAN TAFSIR MISHBAH
Dalam bab ini penulis
memaparkan tentang biografi M. Quraish Shihab
dan rekanjejak keilmuan beliau.
Selain itu dalam bab ini juga menjelaskan karya-karya M. Quraish Shihab
serta karakterisik umum Kitab Tafsir Al-Mishbah
BAB III PEMBAHASAN UMUM TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA
Dalam bab ini berisi
tentang gambaran umum mengenai kepemimpinan dan wanita,
seperti pengertian pemimpin, aplikasi kepemimpinan pada masa Nabi Muhammad serta para sahabat dan semua yang masih
berkaitan dengan kepemimpinan wanita
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN WANITADALAM KITAB AL-MISHBAHDAN PENERAPANNYA PADA ZAMAN SEKARANG
Dalam bab ini akan
menjelaskan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan wanita serta penafsiran M.Quraish Shihab
dalam kitab tafsirnya “Al-Mishbah”. Adapun ayat-ayat yang akan dibahas
dalam bab ini diantaranya ialah Q.S. al-taubah ayat 71 Q.S.
an-Nisa’ ayat 1 dan 34. Selain itu bab
ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana penerapan dari penafsiran ayat-ayat
kepemimpinan wanita pada zaman sekarang.
BAB
V PENUTUP
Dalam bab ini berisi
kesimpulan dari berbagai pembahasan yang telah dipaparkan diatas dan merupakan
pokok dari penelitian ini yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
yang ada pada rumusan masalah. Selain itu dalam bab ini juga berisi saran-saran
atas permasalahan yang timbul seputar tema yang dibahas.
[3]Marno
dan Trio Supriyatno. Manajemen dan kepemimpinan pendidikan Islam (Bandung:
Revuka Aditama, 2008), 29
[4]
Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/ Madrasah (Malang:
UIN Press, 2008), 12
[8]Saiful
Amin Ghafur , Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), hlm. 6
[11]Saiful
Amin Ghafur , Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), hlm 21.
[15]Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline
[17]Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, tulisannya sangat Bagus sekali, saya minta izin jadikan tugas contoh proposal iat saya ya, dalam buku, jazakallah khayran
BalasHapusAssalamu'alaikum.. Tulisan nya sangat bagus. Saya memohon izin kepada pengarang untuk menjadikan contoh dalam mata kuliah IAT saya. Syukran jazzilan wa jazakallah
BalasHapus