ILMU MUKHTALIFIL HADIS Dan MUSYKILUL HADIS
BAB II
ILMU MUKHTALIFIL HADIS Dan MUSYKILUL HADIS
1.
A. Pengertian
Ilmu Mukhtaliful Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-
hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan
itu atau mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits- hadits
yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan
menjelaskan hakiktnya. [1]Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ
فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ
الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ
حَقِيْقَتَهَا
“Ilmu yang membahas
hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan
itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami
atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya” [2]Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (Taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhalul Lathief biasa disebut Ahadist Allati mutadhodan fil ma’na bihasabi al dhohiri. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[3] Disebutkan bahwa Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang mempelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalaf al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalaf al-hadis tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalaf al-hadis.
Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadis musykil sebagai hadis maqbul (sahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya kerana adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil kerana maknanya yang tidak jelas dan sukar difahami oleh orang yang bukan ahlinya.[4]
Dari sini dapat dipahami, bahwa ilmu mukhtaliful hadis dan musykilatul hadis adalah sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana memahami hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu dan mencocokkannya. Seperti halnya pembicaraan tentang hadis yang sulit dipahami dan digambarkan. Dan hal ini akan mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan substansinya.
1.
B. Urgensi Ilmu Mukkhtalifil hadis
Ilmu ini termasuk hal penting dalam study hadis. Sebuah ilmu yang dibutuhkan oleh ahli hadis, ahli
fikih, dan ulama lain. Orang yang mempelajarinya harus mempunyai daya tangkap
tinggi, pemahaman mendalam, pengetahuan luas, dan pengalaman baik. Merekalah
yang piawai dalam ilmu hadis dan fikih. As-sakhowi mengatakan, “Ilmu ini sangat
penting dan dibutuhkan oleh setiap ulama dalam bidang apapun. Yang bisa
sempurna melaksanakan ilmu ini adalah seseorang yang benar-benar pandai
mengumpulkan ilmu hadis dan fikih, serta bisa menyelami arti dari kata-kata
sulit”.[5]Bahkan As-Sakhowi mengatakan berikut:
ولذا كان إمام الأئمة أبو بكر بن
خزيمة من أحسن الناس فيه كلاما لكنه توسع حيث قال لا أعرف حديثين صحيحين متضادين
فمن كان عنده شيء من ذلك فليأتني به لأؤلف بينهما
“Oleh karena itu
(yang menangani ilmu ini hanyalah mereka yang piawai bidangnya), Imam Abu Bakar
bin Khuzaimah termasuk orang terbaik dalam hal ini. Tetapi beliau terlalu
berlebihan, sampai beliau berkata, “aku tidak pernah menjumpai dua hadis yang
bertentangan. Jika seseorang pernah menemukannya, maka datangkanlah padaku agar
aku selesaikan (pengumpulannya)”.[6]Al-Bulqini menyanggah statemen Ibnu Khuzainah ini dengan mengatakan:
لو فتحنا باب التأويلات لاندفعت
أكثر العلل
“Andai kita
membiarkan pintu takwil, niscaya tertolak (tidak ada) kebanyakan illat hadis”Ulama telah berantusias lebih dalam hal ini. Terbukti mereka menangani ilmu ini sejak periode sahabat. Yaitu mereka yang menjadi referensi seluruh ummat dalam menangani problematika hidupnya. Mereka berijtihad untuk mengumpulkan hadis, menggali hukumnya, dan mengompromikan beberapa hadis yang kelihatannya bertentangan. Begitu juga dengan ulama-ulama hadis yang telah menghancurkan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh Islam, seperti golongan Syi’ah dan Muktazilah. Dan mereka merumuskannya dalam karya besar yang akan kami sebutkan sebagiannya.[7]
1.
C. Kitab hadis musykil dan mukhtalif
Berikut ini adalah beberapa kitab penting yang bisa
dijadikan rujukan untuk mengetahui hadis-hadis yang musykil dan mukhtalif serta
cara menjelaskan atau mentakwilkannya. Diantaranya adalah :
1.
Kitab Ikhtilaf al-hadis karangan Imam al-Syafi’i
Merupakan kitab yang pertama kali ditulis dalam bidang ini,
yang di dalamnya beliau menyebutkan nash-nash yang saling bertentangan secara
lahir, kemudian menghilangkan pertentangan itu baik dengan taufiqi
(sinkronisasi), ataupun menyebutkan dalil yang nasikh dan mansukh jika ada
dalil yang menguatkan hal tersebut, atau tarjih (memilih salah satu dari dua
hadis yang bertentangan berdasarkan derajat kesahihannya).Sesuai dengan judulnya, kitab ini hanya memuat pertentangan antara hadis-hadis dan bukan pertentangan hadis dengan dalil yang lain. Juga hanya membahas hadis dalam bidang fikih dan bukan bidang akidah.
1.
Kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah
Di dalam buku ini secara umum isinya memuat tentang
hadis-hadis yang dianggap bertentangan dengan hadis lain. Hadis-hadis yang
dianggap bertentangan dengan Al Qur’an. Hadis-hadis yang dianggap bertentangan
dengan akal. Hadis-hadis yang dianggap bertentangan dengan Ijma dan hadis-hadis
yang dianggap bertentangan dengan Qiyas.Diantara kritik para ulama kepada Ibnu Qutaibah adalah bahwa terkadang beliau menyebutkan hadis dhaif tanpa menyebutkan sanadnya, kemudian berusaha mentakwilkan kemusykilannya. Tentunya lebih baik menyebtukan kedhaifan hadis tersebut daripada berusaha menjelaskan dan mentakwilkannya, karena salah satu syarat hadits musykil adalah baha ia merupakan hadis yang shahih.
1.
Kitab Musykil al-Atsar karya Ath-Thohawi
Merupakan kitab terlengkap dalam bidang ini, dan mengandung
banyak hadis musykil dalam berbagai bidang seperti akidah, fikih, qiraat,
akhlak dan lain-lain. Diantara kelebihan yang lain adalah bahwa beliau
menyebutkan hadis dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya dan illat-illat
yang mungkin terdapat di dalamnya seperti inqitho‘,
irsal dan lain-lain.
1.
Kitab Kasyf al-Musykil Min hadits ash-Shohihain karya Ibnu al-Jauzi
Kitab ini khusus membahas hadis-hadis musykil yang ada
dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan mengikuti urutan yang dibuat oleh
al-Humaidi dalam bukunya Mukhtashar
Ash-Shohihain. Diantara kelebihannya adalah kemampuan beliau dalam
menjelaskan kata-kata sulit (gharib
al-hadis) dan menyebutkan hukum yang terkandung dalam hadis berdasarkan
pendapat para ulama sebelum beliau, dan juga pendapat yang beliau pilih dengan
dalil-dalil yang lengkap.
1.
D. Beberapa Contoh Hadis Yang Mukhtalif dan
Musykil
Berikut pemakalah paparkan beberapa contoh hadis musykil dan mukhtalif. Contoh hadis musykil
yang bertentangan dengan akal:[8] (sesungguhnya Musa as menampar mata Malaikat Maut, maka
menyebabkan dia buta sebelah). Para musuh Islam melemparkan tuduhan: “jika Malaikat itu bisa buta sebelah, maka
dia bisa buta total. Dengan begitu, mungkin Isa bin Maryam telah menampar yang
sebelahnya lagi. Sebab dia juga benci untuk mati”.Ibnu Qutaibah menjelaskan: “sesungguhnya hadis ini hasan. Dan ada dasarnya dalam kitab-kitab klasik. Hadis ini bisa diinterpretasikan dengan baik. Para malaikat itu hamba Allah yang berbentuk ruhany. Yaitu nisbat kepada ruh. Mereka seperti ruh yang tidak berfisik seperti mereka. Mereka bisa mempunyai mata, tapi tidak seperti kita. Kita tidak tahu bagaimana substansi mereka yang diciptakan oleh Allah swt. Pengetahuan kita hanya terbatas pada sifat-sifat yang dituturkan Allah dan rasul-Nya. Orang-orang Arab menyebut malaikat sebagai jin. Sebagaimana penuturan al-A’sya dalam baitnya: “Sulaiman menundukkan sembilan dari jin Malaikat. Mereka berdiri di sampingnya untuk bekerja tanpa upah”. Jadi semuanya tetap mungkin, tapi sifatnya tidak berfisik seperti kita.
Misalnya dalam kitab ini disebutkan, “Pemfitnah itu mengatakan, “Ada dua hadis yang bertentangan mengenai permasalahan air. Kalian meriwayatkan hadis (air tidak bisa dinajiskan sesuatu), kemudian kalian juga meriwayatkan (jika air sudah mencapai dua kulah, maka tidak bisa terkena najis). Ini menunjukkan bahwa air yang kulah dua kulah bisa terkena najis. Hal ini berbeda dengan konsekuensi arti hadis pertama”.
Ibnu Qutaibah menjawab, “Hadis ini tidak bertentangan. Nabi saw bersabda (Air tidak bisa dinajiskan sesuatu) berdasarkan kebiasaan dan adatnya. Sebab, biasanya air yang ada dalam sumur itu banyak. Kemudian diekspresikan secara khusus. Seperti halnya seseorang yang berkata, “banjir itu tidak tertahankan sesuatu”. Padahal kenyataannya tembok juga bertahan. Maka maksudnya adalah banjir bah yang besar. Begitu juga ucapan “Api tidak berharga”, maksudnya api yang membakar dan membuat madharat. Bukan api pelita atau bahan bakar. Kemudian beliau menjelaskan seberapa kadar air yang bisa menahan najis.”[9]
Kitab lain yang membicarakan ilmu ini adalah (Musykilul Atsar) karya Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi (239-321 H). Kitabnya sebanyak empat jilid cetakan India tahun 1333 H.
Kitab (Musykilul Hadis Wa Bayanuhu) karya Imam Muhammad bin Hasan (Ibnu Faurak) Al-Anshari Al-Ashbihani (w. 406 H). Karya ini membicarakan tentang hadis yang tampaknya mendukung konsep tajsim (menganggap Allah swt adalah jisim) dan tasybih (menyerupakan Dzat Allah swt). Beliau membantah tuduhan-tuduhan itu dengan argumentasi secara rasional (‘aqliyyah) dan data-data lengkap (naqliyyah). Cetakan pada tahun 1362 H di India.
1.
E. Sebab–Sebab Hadist Mukhtalif
1.
Faktor Internal Hadist (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadist
tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat)
didalam hadist tersebut yang nantinya kedudukan hadist tersebut menjadi Dha’if. Dan secara otomatis hadist
tersebut ditolak ketika hadist tersebut berlawanan dengan hadist shohih.
1.
Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari
Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat
dimana Nabi menyampaikan hadistnya.
1.
Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses
seseorang memahami hadist tersebut. Ada sebagian dari hadist yang dipahami
secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan
kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadist, sehingga
memunculkn hadist-hadist yang mukhtalif.
1.
Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam
memahami suatu hadist, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan
berbagai aliran yang sedang berkembang.[10]
1.
F. Metode Penyelesaian Mukhtaliful
Hadis
1.
Metode al-Jam’u Wa al-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih ( mengumpulkan salah satu dari
dua hadits yang tampak bertentangan ). Metode al-jam’u wa al-taufiq ini tidak
berlaku bagi hadis – hadis dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadis –
hadis yang shahih.Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa taufiq adalah hadis tentang cara wudlu Rasulullah Saw. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw.berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حدثنا الربيع قال : اخبرنا الشافعي
, قال : اخبرنا عبد العزيز بن محمد , عن زيد بن اسلم , عن عطاء بن يسار, عن ابن
عباس, ان رسول الله ص م وضأ وجهه و يديه , و مسح برأسه مرة مرة.
Artinya:Rabbi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: imam Al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Azizi ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibnu Aslam dari Atho ibn Yasar dari ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali. H.R. Al-Syafi’i
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terlihat dalam hadits berikut ini:
اخبرنا الشافعي , قال : اخبرنا
سفيان بن عيينه , عن هشام بن عروة عن ابيه, عن حمران مولى عثمان بن عفان, ان النبي
ص م توضأ ثلاثا ثلاثا .
Artinya:Imam Al-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibnu ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dari Hamran maulana “Utsman ibnu ‘Affan bahwa Nabi Saw berwudhu dengan mengulangi tiga kali(dalam membasuh dan mengusap). (HR Al-Syafi’i).
Kedua Riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama sahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al Jam’u wa Al Taufiq dengan komentar imam Syafi’I dalam kitab Ikhtilaful Hadist :
قال الشافعي : ولا يقال لشيء من هذه
الاحاديث : مختلف مطلقا ولكن يقال: اقل ما يجزي من الوضوء مرة, واكمل ما يكو ن من
الوضؤ ثلاثا.
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam Syafi’I berkata : “
hadist-hadist itu tidaj bias dikatakan sebagai hadist yang benar – benar
kontradiktif. Akan tetapi bias dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah
dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan
yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal
membasuh wajah dan mengusap Tangan serta mengusap kepala).
1.
Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak
memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana
diantara Hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik.
Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.Harus diakui bahwa ada beberapa matan Hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah Hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah Hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
Artinya:Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadist tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadist tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab : tidak. Kami berkata : dulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab : orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada dineraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadist yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[11]
Hadist tersebut dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif dengan Al Quran surat al Takwir :
Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk keneraka dapat diaktakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk keneraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadist tersebut harus ditolak meskipun sanadnya Hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadist lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al Sharimiyyah, : Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, orang yang mati Syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
1.
Metode Nasikh Mansukh
Jika ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka
para ulama menempuh metode naskh-mansukh ( pembatalan ). Maka akan dicari makna
hadis yang lebih datang dulu dan makna hadis yang datang belakangan. Otomatis
yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan ( al – izalah ), bisa pula berarti al- naql ( memindahkan ). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ ( pembuat syriat; yakni Allah dan Rasulullah ) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatya hanya sebagai penjelasnya ( bayan ) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus ( takhsish ) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh ( yang menghapus ).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi disaat nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi).
Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadist tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى
بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ
بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ
بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ
جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua Hadîts di
atas terlihat saling bertantangan, Hadîts
pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia
haram. Hadîts kedua menunjukkan
kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging
kuda pada Hadîts pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan
daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn
Abdallah yang datang setelahnya.[12]
1.
Metode Ta’wil
Metode ini bisa menjadi salah satu alternative baru dalam
menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan. Sebagai contoh hadis tentang
lalat. Hadis tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan.
Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan
penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi Saw. Menyuruh supaya menenggelamkan lalat
yang hinggap diminuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufik
Sidqi terhadap kebenaran hadis tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A.
Juynboll.[13]Hadis tersebut :
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ
لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
Artinya:Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat). (HR Al-Bukhori).
Selintas hadist tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata penelitian dari sejumlah peneliti Muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang kedalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadist tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari dhohir hadist kelihatan mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan.
BAB III
PENUTUP
1.
A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwasannya dari berbagai macam keadaan hadist yang mana notabenenya sebagai
sumber Islam yang kedua setelah Al Quran masih dibutuhkan berbgai literature
keilmuan dalam memahaminya. Dan dalam perjalanannya dikemudian hari sudah
barang tentu akan terus mengalami proses perkembangan dalam memahai sebuah teks
hadist. Hal ini dapat terjadi karena selama ini dalam ruang lingkup proses
pemahaman hadist juga sudah mengalami perkembangan dari zaman ketika Islam
belum mengenal teori hermeneutic sampai pada saat sekarang ini teori tersebut
mulai dikembangkan dalam dunia pemahaman sumber Islam. Dan juga tidak kalah
pentingnya bahwa dalam memahami hadist juga masih harus mempertimbangkan dari
teori-teori ulama terdahulu agar kompromi keilmuan ulama dahulu dan sekarang
masih tetap terjallin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, Cet. ke-1.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005.
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist, Yogyakarta : Idea Press, 2008.
As-Sakhowy, Muhammad bin Abdirrahman. 1403. Fathul Mughis. Darul Kutub al-Ilmiyyah: Baerut Lebanon. Maktabah: Syamilah.
Ad-Dainury, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. 1995. Takwilu Mukhtalifil Hadis. Darul Fikr: Baerut Lebanon.
Ibnu Qutaibah. Takwilu Mukhtalifil Hadis. Maktabah: Syamilah. Juz. 01.
Shalahuddin Ibn Ahmad al Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadist al Nabaw.i (Beirut : Dar al fikr al jadidah 1983).
http://insansejati.com/ilmu-hadits/19-mukhtaliful-hadits.html http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif
[2] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1, 254
[3]Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Ilmu Hadits.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005),103
[4] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
[5] As-Sakhowy, Muhammad bin Abdirrahman. 1403. Fathul Mughis. Darul Kutub al-Ilmiyyah: Baerut Lebanon. Maktabah: Syamilah.
[6] Ibid., 89
[7] Ibid., 41
[8] Ad-Dainury, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. 1995. Takwilu Mukhtalifil Hadis. Darul Fikr: Baerut Lebanon.
[9]Ibnu Qutaibah. Takwilu Mukhtalifil Hadis. Maktabah: Syamilah. Juz. 01. hlm. 336
[10] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist (Yogyakarta : Idea Press, 2008),87
[11] Shalahuddin Ibn Ahmad al Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadist al Nabaw.i (Beirut : Dar al fikr al jadidah 1983),115.
[12]http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
[13] G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature;discussion in Modern Egypt( Ladien E.J Brill, 1969)hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist (Yogyakarta : Idea Press, 2008).hal. 100-101.
MA’RIFATU MUSYKILI AL HADITS WA IKHTILAFIH* Oleh; Nehrun
Bafadhole A. Pendahuluan Ilmu Mustholah hadits merupakan salah satu cabang ilmu
hadits yang membahas mengenai kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui
derajat hadits dan kondisi para perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak
dimiliki oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi
langkah awal untuk membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari
hadits-hadits lemah dan palsu. Sebagai sebuah ilmu, Mustholah hadits telah
tumbuh dan berkembang sejalan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya,
benih-benih ilmu ini secara alamiah telah muncul sejak zaman para shahabat
sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang
sistematis, ia baru dibukukan pertama kali –sebagaimana pendapat jumhur ulama
hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil.[1] Dalam
perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan
dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu
Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah,
Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih
ada beberapa pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama terkait
dengan pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah
satu diantaranya adalah: Musykil al-Hadits wa ikhtilafih. B. Definisi Musykil
Al-Hadits Dan Mukhtalif Al-Hadits Al-Musykil secara bahasa berasal dari
kata"Syakala". Ibnu Faris berkata:"Kata syakala dalam kebanyakan
bentuknya mengandung arti:"Mumatsalah" (persamaan), misalnya
disebutkan:"Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan ini.[2]
Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan:"Asykala al-amru" artinya:
"Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna sehingga
menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[3] Hal yang sama disebutkan oleh
para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[4] al-Qamus al-Muhith[5]
dll. Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu,
mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan.
Kemudian kata musykil digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas,
baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab lain.[6] Oleh karena
itu, istilah Musykil al-hadits juga digunakan untuk menunjukkan hadits yang
maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir. Berdasarkan pengetahuan
penulis terhadap buku-buku Mustholah karangan para ulama terdahulu, seperti:
al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah,
at-Taqrib, al-Ba'its al-Hatsits dll, penggunaan istilah Musykil al-Hadits tidak
dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah
ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan
bermakna: "Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir
saling bertentangan."[7] Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam
bidang tersebut, mereka menyebut kitab Musykil al-Atsar karangan Imam
ath-Thohawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita dapati
didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain,
akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat
al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah. Zainuddin al-Iraqi berkata:
"Karangan dalam bidang Mukhtalaf al-hadits diantaranya adalah kitab
karangan Muhammad bin Jarir ath-Thobari, juga kitab Muyskil al-Atsar karya
ath-Thohawi.[8] Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan
hadits-hadits yang musykil dalam pembahasan Mukhtalaf al-hadits. Dan tentunya
akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi
Mukhtalaf al-Hadits mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadits dengan
hadits yang lain, sedangkan hadits Musykil mempunyai makna yang lebih luas dari
itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta'akhkhirin juga melakukan hal yang
sama dengan menyamakan Mukhtalaf al-Haditsdan Musykil al-hadits, diantaranya
adalah al-Shon'ani dalam kitab Taudhih al-Afkar, al-Mulla Ali al-Qari dalam
Syarh Syarh al-Nukhbah, dan al Kattani dalam al-Risalah al-Mustathrofah. Al Kattani
berkata ketika menyebutkan karangan-karangan dalam bidang hadits: "Dan
diantaranya adalah kitab-kitab tentan Ilmu Mukhtalaf al-Hadits, atau anda bisa
menyebutnya ilmu Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, atau Musykil al-hadits, atau
Munaqhodhoh al-hadits." [9] Mungkin, ulama yang pertama kali menyebutkan
bahwa suatu hadits mungkin mempunyai makna yang tidak jelas dan menimbulkan
tanda tanya –bukan sekedar bertentangan dengan hadits lain- adalah Imam Thohawi
dalam kitabnya Musykil al-Atsar. Beliau berkata: "Ketika saya meneliti
hadits-hadits Rasulullah SAW yang shahih sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi
yang terpercaya, saya menemukan hadits-hadits yang tidak diketahui maksud
kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun tertarik untuk
menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemusykilannya dengan menjelaskannya,
dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya."[10] Disini kita lihat
Imam Thohawi secara implisit menyebutkan tentang syarat-syarat hadits musykil,
definisinya dan cara menghilangkan kemusykilannya. Adapun syaratnya adalah:
hadits itu haruslah shahih sanadnya. Sedangkan definisinya menurut beliau
adalah: hadits-hadits yang tidak diketahui kandungan maknanya oleh sebagian
besar orang. Dan cara menghilangkan kemusykilan tersebut adalah dengan menelitinya
dan menjelaskannya. Adapun para ulama kontemporer yang menulis dalam bidang
Mustholah hadits, secara umum mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah
ini: 1. Pendekatan pertama adalah menganggap istilah Mukhtalaf dan Musykil
sebagai satu istilah yang sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi menjadi
tiga kategori: a) Sebagian menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil
al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah
tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang
mengatakan:"Mukhtalaf al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil
al-Hadits, yaitu: "Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum
syara', atau bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun
As-sunnah) sehingga menimbulkan makna yang bias".[11] Juga Dr. Muhammad
Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu yang mengkaji
hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian
disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang bertentangan
dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah)sehingga
menimbulkan makna yang bias ."[12] b) Sebagian ulama menganggap Musykil
al-hadits adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan
pertentangannya dengan kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu
Zahw.[13] c) Sebagian ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil
al-hadits dan cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang
dilakukan oleh para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah:
Syekh Ahmad Syakir,[14] Prof. Dr. Mahmud ath-Thohhan,[15] dan Dr. Ahmad Umar
Hashim.[16] 2. Sedangkan pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua
istilah tersebut, dan menjadikan Mukhtalaf hadits sebagai istilah yang khusus
menunjukkan pertentangan hadits dengan hadits yang lain. Adapun Muyskil
al-hadits merupakan istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya. Dr. Musthofa Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai:
"Hadits yang secara zhahir menunjukkan makna yang bathil, karena
bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau fakta ilmiah, atau karena mengandung
tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah dengan makhluknya."[17]
Sedangkan Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits
yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih yang secara zhahir maknanya
menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan dengan kaedah Syari'ah yang
disepakati."[18] Adapun Dr. Fathuddin al-Bayanuni mendefinisikannya
sebagai: "Hadits-hadits shahih yang secara zahir bertentangan dengan dalil
lain (al-Qur'an dan As-Sunnah), atau kaedah syara' dan akal, atau fakta sejarah
dan fakta ilmiah."[19] Definisi yang tepat dan penjelasannya Dari
definisi-definisi diatas kita dapati bahwa semuanya menunjukkan kepada
penjelasan yang hampir sama, dengan beberapa perbedaan dalam menyebutkan
sebab-sebab musykilnya suatu hadits. Secara lebih rinci, dari gabungan definisi
diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia:
Merupakan hadits yang sahihSecara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas,
atau;Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah,
atau;Bertentangan dengan kaedah syara', atau;Bertentangan dengan akal,
atau;Bertentangan dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah,
atau;Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;Bertentangan dengan fakta sejarah.
definisi yang paling tepat untuk Musykil al-hadits adalah: "Hadits shahih
yang secara zhahir tidak jelas maknanya, atau bertentangan dengan syara', atau
akal, atau dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma maupun Qiyas), atau
dengan fakta ilmiah dan fakta sejarah." Penjelasan dari definisi ini
adalah sebagai berikut: Ø Hadits shahih: Dalam pembahasan Musykil al-hadits
kita hanya menerima hadits hadits shahih saja, karena tujuan pembahasannya
adalah untuk mengetahui makna yang benar dari hadits tersebut. Sedangkan hadits
yang lemah atau palsu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sehingga tidak ada
artinya kita mentakwilkan atau menjelaskan kemusykilannya. Ø Secara zhahir:
Syarat ini untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak
musykil, akan tetapi karena ketidaktahuan orang yang membacanya membuatnya
menjadi tampak musykil. Ø Tidak jelas maknanya: karena mempunyai kosa kata yang
asing, atau karena terlalu umum dan tidak spesifik, atau karena mempunyai lebih
dari satu makna yang memungkinkan terjadinya multi tafsir, sehingga perlu
diketahui makna yang dimaksud dalam hadits tersebut, atau sebab yang lain. Ø
Bertentangan dengan Syara', akal, dalil yang lain, dan fakta ilmiah dan fakta
sejarah: ini adalah merupakan hal-hal yang mungkin bertentangan dengan hadits
shahih secara zahir. Contoh-contoh untuk setiap hadits yang bertentangan dengan
hal-hal diatas dapat kita temukan dalam kitab-kitab yang ditulis secara khusus
untuk mengkaji hadits-hadits musykil. Dari definisi yang telah penulis
paparkan, maka terlihat dengan jelas bahwa Mukhtalaf al-Hadits seharusnya
dibedakan secara terminologi dari Musykil al-Hadits, karena Musykil al-Hadits
lebih umum dari Mukhtalaf al-Hadits. Jadi hubungan antara dua terminologi
tersebut adalah: "keumuman dan kekhususan secara mutlak", karena
semua hadits yang Mukhtalaf bisa dikategorikan sebagai Musykil, akan tetapi
hadits yang Musykil belum tentu masuk dalam kategori Mukhtalaf. Secara lebih
detail, perbedaan antara keduanya bisa dipaparkan sebagai berikut: a) Dari segi
bahasa, Musykil berasal dari kata "asykala" yang berarti ambigu atau
mengandung makna yang tidak jelas, sedangkan Mukhtalaf berasal dari kata
"ikhtalafa" yang berarti berbeda atau bertentangan. b) Dari segi
sebab, suatu hadits dikategorikan sebagai Mukhtalaf apabila bertentangan dengan
hadits shahih yang lain, sedangkan dalam Musykil al-Hadits, sebab
pengkategoriannya adalah disebabkan oleh pertentangan hadits tersebut dengan
dengan Syara', akal, dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah) dan fakta
ilmiah serta fakta sejarah. C. Sejarah Perkembangan Ilmu Musykil al-Hadits[20]
Fenomena "Isytisykal al-Hadits" (mempertanyakan makna suatu hadits) sebenarnya
sudah ada sejak zaman Shahabat radhiallahu anhum. Dalam hal ini bisa disebutkan
contoh, dimana seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam karena tidak memahami sabda tersebut. Dalam shahih al-Bukhari
diriwayatkan: Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah istri Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam apabila mendengar sabda Nabi yang ia tidak pahami
maknanya, selalu bertanya kepada Nabi. Suatu saat Nabi bersabda: "Barang
siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab." Maka Aisyah
bertanya: "Bukankah Allah berfirman: "Maka ia akan dihisab dengan
hisab yang mudah?" Maka Nabi bersabda: "Sesungguhnya ayat tersebut
berkenaan dengan al-Ardh (yaitu salah satu fase di hari kiamat dimana
diperlihatkan kepada seorang mukmin catatan amalnya), akan tetapi barang siapa
yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab. (HR. al-Bukhari)[21] Dalam
hadits tersebut, Aisyah ketika mendengar sabda Nabi bahwa semua orang yang
dihisab akan diazab, beranggapan bahwa sabda tersebut bertentangan dengan ayat
yang menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihisab (yaitu orang mukmin), akan
dihisab dengan hisab yang mudah. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan, bahwa
yang dimaksud ayat tersebut adalah pada saat al-Ardh, yaitu ketika Allah
memperlihatkan catatan amal seorang mukmin, dan menunjukkan dosa-dosanya, akan
tetapi Allah mengampuninya. Sedangkan sabda Nabi tersebut khusus untuk
orang-orang yang ditanya ketika dihisab, maka pasti dia akan diazab.[22]
Fenomena ini terus berlanjut di era shahabat dan para ulama sesudahnya. Hal ini
wajar, selama motivasi orang yang bertanya tersebut betul-betul karena ingin
memahami suatu hadits, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat negatif seperti
menimbulkan keraguan terhadap hadits, atau mencari-cari masalah yang aneh yang
susah dicari jawabannya dll. Oleh karena itu, dalam sejarah periwayatan hadits
dikenal "Istidrokat Aisyah 'ala al-Shahabah" (koreksi Aisyah terhadap
riwayat shahabat)[23] dimana Aisyah menyanggah beberapa riwayat shahabat dan
menganggap bahwa telah terjadi kesalahan dalam periwayatan tersebut karena lupa
atau kesalahan memahami nash. Akan tetapi setelah era shahabat, muncullah
berbagai kelompok (thawaif) yang mempunyai pemahaman yang menyimpang dalam
masalah aqidah dan syariah, maka kemudian para ulama ketika ditanya tentang
suatu masalah, membedakan antara orang yang bertanya karena ingin mengetahui
hukum yang sebenarnya, dan orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan
tujuan membuat orang ragu-ragu. Dari sisi lain, dengan banyaknya kelompok-kelompok
yang menyimpang tersebut, para ulama mulai menjawab syubhat-syubhat mengenai
pemahaman beberapa hadits, dengan tujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat
hal yang sebenarnya. Maka dikenallah Imam Syafi'i sebagai orang yang pertama
kali menuliskan buku untuk menjawab syubhat-syubhat yang berkembang di
masyarakat mengenai hadits dalam bukunya "Ikhtilaf al-Hadits".
Kemudian muncul ulama-ulama yang lain seperti Ibnu Qutaibah, Imam Thohawi dll.
D. Contoh-contoh Hadits Musykil para pengkaji musykil al-hadis memilah
kemusykilan sebuah hadis menjadi empat hal yaitu karena, -diduga tidak sesuai
dengan al-Qur`an. -diduga tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. -diduga tidak
sesuai dengan akal sehat, -diduga tidak sesuai dengan kenyataan. Berikut ini
adalah beberapa contoh hadits yang bisa dikategorikan sebagai hadits musykil:
1. Hadits yang secara zahir bertentangan dengan al-Qur'an. "Dari Jarir
r.a, ia berkata: "Rasulullah s.a.w keluar bersama kami pada suatu malam
purnama.Kemudian beliau bersabda: "Kalian akan melihat Tuhan kalian pada
hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan ini, tanpa terhalang sesuatu
pun”.[24] Hadits ini menerangkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang
beriman akan dapat melihat Allah s.w.t. Secara zahir, ia bertentangan dengan
firman Allah s.w.t dalam surat al-An'am ayat 103 yang menerangkan bahwa semua
makhluk Allah tidak bisa melihat-Nya. Allah berfirman: Artinya: "Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."[25]
Maka, para ulama pun menjelaskan maksud dari kedua dalil tersebut sehingga
tidak timbul lagi kontradiksi antara keduanya. Diantaranya adalah pendapat Ibnu
Abbas: "Di dunia, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan makhluknya,
akan tetapi di akhirat, orang-orang yang beriman bisa melihatnya, sesuai dengan
penjelasan hadits tersebut." 2. Hadits yang secara zahir bertentangan
fakta ilmiah. Salah satu contoh hadits yang dianggap bertentangan dengan fakta
ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah, hadits riwayat Imam al-Bukhari: Abu
Hurairah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak ada
penyakit menular."[26] Hadits ini menegaskan bahwa tidak ada penyakit
menular, padahal secara ilmiah diketahi bahwa ada beberapa penyakit yang bisa
berpindah dari seseorang ke orang lain. Maka para ulamapun menjelaskan makna
hadits tersebut, salah satunya adalah Syekh Ahmad Syakir yang
mengatakan:"Menurut saya pendapat yang paling kuat adalah yang diutarakan
oleh Ibnu Sholah, bahwa suatu penyakit tidak bisa menular dengan sendirinya,
akan tetapi Allah-lah yang menentukan bahwa berdekatan dengan orang yang
berpenyakit menular akan membuat seseorang tertular, karena dimungkinkan ada
sebab lain yang membuatnya sakit. Karena sesungguhnya telah menjadi fakta dalam
ilmu kedokteran modern, bahwa suatu penyakit bisa menular melalui mikroba yang
dibawa oleh angin atau ludah atau yang lainnya."[27] 3. Pemahaman Hadis
Musykil yang tampak tidak sesuai dengan Akal Sehat “Hajar Aswad adalah tangan kanan
Allah di bumi-Nya, yang dengannya Ia salami makhluq-Nya yang Ia Kehendaki” Ibn
Qutaibah menyebutkan riwayah Ibn ‘Abbas tanpa memerinci sanadnya di bawah judul
Hadis fi at-Tasybih. Ia mengemukakan :Kita mengatakan bahwa ini adalah tamsil
dan perumpamaan. Asalnya adalah seorang raja jika menyalami seseorang, orang
itu mencium tangannya. Maka Hajar Aswad tersebut seakan-akan bagi Allah
memiliki kedudukan sebagai tangan Sang Raja untuk disalami dan dicium. Telah
sampai kepadaku bahwa Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ketika melakukan
perjanjian dengan bani Adam dan mempersaksikan-Nya kepada mereka; Tidakkah Aku
Tuhanmu ?, Mereka mengatakan ;Ya (Engkaulah Tuhan kami) dan mejadikan (tanda
perjanjian) itu pada Hajar Aswad. Menurut Ibn Furak yang dimaksud hadis Hajar
Aswad tersebut adalah satu dari kenikmatan Allah atas hambanya, yang
menjadikannya sebagai sebab yang membuat orang mukmin diberi pahala guna
taqarrub kepada Allah dengan cara menyalaminya. Kita telah menjelaskan bahwa
orang Arab menyatakan kenikmatan dengan tangan kanan atau penisbatan kepada
Hajar Aswad tersebut merupakan bentuk penghormatan Allah kepadanya.
Penghormatan tersebut merupakan fi’il (perbuatan)-Nya yang Ia sebut dengan
“tangan kanan” dan menisbatkan tangan tersebut pada Diri-Nya serta memerintahkan
orang-orang untuk menyalami dan menciumnya guna menampakkan kepatuhan mereka
untuk taqarrub kepada Allah. Dengan begitu mereka memperoleh barakah dan
kebahagiaan dari Allah. Sedangkan Al-Muhibb ath-Thabari berpendapat maksudnya
adalah semua raja jika menerima duta dan delegasi maka tangannya dicium. Dan
ketika orang yang berhaji disunnahkan untuk mencium Hajar Aswad ketika datang
(keKa’bah), maka Hajar Aswad menempati tempatnya raja secara perumpamaan. Wa li
Allah al-masal al-a’la. Karenanya orang yang menyalami batu itu di sisi Allah
seperti halnya janji setia dan kedekatan, sebagaimana seorang raja memberikan
janji setia dengan cara menyalami. Ibn Hajar dalam Fath al-Bari denganmengutip
pendapat Al-Khaththabi menyatakan: maksudnya manusia memperoleh kedekatan di
sisi Allah. Setelah menjadi kebiasaan bahwa janji setia dan kedekatan ditandai
dengan cara berjabatan tangan antara seorang raja dengan orang-orang yang ingin
mendapat tempat terhormat di sisinya atau diberi kekuasaannya. Dari paparan di atas
tampak bawah hadis ini dipahami dalam bentuk pengertian majaz bukan zahir.
Penolakan terhadap makna majaz dan memengangi makna zahir jelas menghasilkan
pengertian yang tidak masuk akal. 4. Pemahaman Hadis Musykil yang tampak tidak
sesuai dengan Kenyataan “Ia (Nabi) menyebut bahwa seratus tahun kemudian pada
saat itu tak ada di atas bumi orang yang masih Hidup” Kemusykilan dalam hadis
ini terletak pada peringatan bahwa sesudah seratus tahun sesudah nabi, tak ada
lagi orang yang masih hidup. Pemahaman seperti ini memang wajar dari zhahir
teksnya. Hadis ini memang diriwayatkan oleh banyak rawi. Dengan melihat
periwayatan hadis-hadis lain yang setema para ahli hadis menuntaskan
kemusykilan hadis ini. Dari segi makna memang kita memahaminya merupakan suatu
yang tidak sesui dengan kenyataaan, ini juga terjadi pada sebagian sahabat
sebagaimana secara tersirat ditunjukkan oleh paparan Ibn Hajar : “Karena
sebagian dari mereka mengatakan kiamat akan terjadi seratus tahun sebagaimana
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan yang lainnya dari hadis Abu Mas’ud al-Badri
yang mana Ali (diketahui) menolak hal tersebut. Dan ibn Umar dalam hadis
tersebut telah menjelaskan maksud nabi tersebut, yakni nabi bermaksud
mengatakan bahwa “seratus tahun lagi semenjak ia menyabdakan, ketika abad itu
lewat orang-orang yang ada saat perkataan itu disabdakan kelak sudah tidak ada
lagi”. Demikianlah terbukti dengan adanya penelitian (istiqra’)bahwa orang yang
diketahui hidup waktu itu adalah sahabat Abu at-Thufail, Ahli hadis telah
bersepakat bahwa beliaulah sahabat yang terakhir wafat. E. Sebab–Sebab Hadits
Mukhtalif Ø Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily) Yaitu berkaitan dengan
internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya terdapat ‘illat (cacat) didalam
hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan
secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan
dengan hadits shohih. Ø Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy) Yaitu faktor
yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang
lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan
haditsnya. Ø Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy) Yakni berkitan dengan cara
bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari
hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu
dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang
memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif. Ø Faktor
Ideologi Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu
hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang
sedang berkembang. [28] F. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif Untuk mengawali
pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadîts mukhtalif, sengaja
dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam
memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu: لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا
إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا
في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه [29]
[30] Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin
Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya
benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu
hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan, Dalam hal ini ada dua
kemungkinan.Kemungkinan pertama, salah satu dari hadits tersebut bukanlah
hadits maqbûl, melainkan hadits mardûd, baik do’îf maup- mawdhû,
besarkemungkinanbertentangandengan hadits shahîh atau hasan. Kedua, karena
pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits
tersebut.[31] Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud
dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud
masing-masing. mengenai metode penyelesaian hadits-hadits mukhtalif, ada tiga
cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian
dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara
tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak menemukan
jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh
solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut: 1. Metode al-Jam’u
(penggabungan atau pengkompromian) Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi
dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang
tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang
lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang
menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi
hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang
shahih. Untuk menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang saling
bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:-Menggunakan
Pendekatan Kaedah Ushûl, - Pemahaman Kontekstual (sababu al wurud), - Pemahaman
Korelatif, - dan Menggunakan Cara Ta’wîl. Sebagai contoh penulis paparkan
hadist yang Penyelesaianya berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan
kaedah ushul. yaitu Hadîts tentang mengambil upah dari jasa berbekam: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ
قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ
ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ Hadîts ini melarang mengambil upah
dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ
ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ
فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو
طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ
مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ
مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ ِ Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah
pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh
Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua
dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi
antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadîts pertama menjelaskan
adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan
tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad.Haramnya kasb
al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah
untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya.[32]
Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh. 2.
Metode Nasikh Mansukh Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih,
maka para ulama menempuh metode naskh-mansukh (pembatalan).[33] Maka akan
dicari makna hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits yang datang
belakangan. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang
belakangan. Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa
diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan
daging kuda: Ã أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ
ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ
وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ Ã حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ. Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits
pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia
haram. Hadits kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan
ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda
pada hadits pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda
pada hadits Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya. 3. Metode Tarjih Metode
ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang
peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang
tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih
berkualitas itulah yang dijadikan dalil. Sebagai contoh, adalah hadits tentang
nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai
contoh adalah hadits berkut ini: الوائدة والموؤودة في النار “Perempuan yang
mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud) Hadits
tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim.
Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn
Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya
bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang
suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan
Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab:
tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di
zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang
dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk
Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam
Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu
Katsir.[34] Hadits tersebut dinilai mukhtalaf dari sisi matan dan musykil
dengan Al Quran surat al Takwir : وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ (9) Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9) Kalau
seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan
logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke
Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, langkah yang diambil
adalah dengan mentarjih. sehingga hadits tersebut menjadi marjuh meskipun
sanadnya hasan, karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat
derajatnya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman
Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga?
Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang yang mati syahid
juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak perempuan yang
dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR. Ahmad.) kerojihan riwayat ini
diperkuat oleh hadits yang mengatakan bahwa setiap bayi itu lahir dlam keadaan
suci lagi fitroh. G. Kitab Terkait Ma’rifatu Musykili Al Hadits Wa Ikhtilafih
Berikut ini adalah beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk
mengetahui hadits-hadits yang musykil dan mukhtalif dan cara menjelaskan atau
mentakwilkannya. Diantaranya adalah: a. Kitab "Ikhtilaf al-Hadits"
karangan Imam Al-Syafi'i b. Kitab "Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits" karya
Ibnu Qutaibah c. Kitab "Musykil al-Atsar" karya Ath-Thohawi d. Kitab
"Kasyf al-Musykil Min hadits ash-Shohihain" karya Ibnul Jauzi e.
kitab “Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu” karya Imam al-Muhaddits Abu bakar
Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy (406 H) H. penutup
Tidak dapat dipungkiri lagi adanya hadis-hadis yang musykil dan hadits-hadits
yang mukhtalif. Namun, untuk memahami hadis-hadis tersebut perlu adanya
kerangka pemahaman berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ulama sebagaimana
telah penulis uraikan di atas. Berbagai problema di seputar hadis-hadis musykil
dan mukhtalif serta cara memahaminya (penyelesaiannya) dapat dijadikan pedoman
untuk memahami hadis-hadis musykil dan mukhtalif. Referensi Makatabah Syamilah
Dan Buku Scan Dalam Bentuk PDF Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis
al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002). Nuruddin al-Itthr, Manhaj
Al-Naqd Fi Ulum Al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997). Ahmad Muhammad
al-Samahi, Al-Manhaj Al-Hadits Fi Ulum Al-Hadits. Ahmad Umar Hashim, Qowaid
Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998). Al-Thohawi, Bayan Musykil
al-Atsar. Fathuddin al-Bayanuni, Musykil Al-Hadits, Isykaliyah Al-Mustholah Wa
Tarikh Al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University
Malaysia, Vol. 2, Juli 2005. Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah,
Cet.1). Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun. Muhammad Ahmad
al-Thohhan, Taisir Mustholah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7,
1985). Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh
(Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989). Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal
al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406). Muhammad bin Ja'far al-Kattani,
Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah
(Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986). Muhammad bin Mukrim bin
Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1). Muhammad
Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Komentar
Posting Komentar