PEMIKIRAN NABIA ABBOT-HADIST ORIENTALIS

HADITS ORIENTALIS
“ NABIA ABBOTT ”
Dosen Pengampu:
Angki Fauzan, M.Ud






                                                                                                                                

Disusun oleh :
Puput Wahyu Cahayani          (2831133044)
Saiful Murod                           (2831133049)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR (IAT 6 B)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
APRIL 2016





A.    Latar Belakang
Kajian hadits tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, para orientalis pun juga turut meramikan kajian hadis. Sebagaimana diketahui, hadis mulai dikodifikasikan dalam skala yang besar pada abad kedua hijriyyah. Terdapatnya rentan waktu yang cukup panjang dengan masa hidup nabi dan sahabat, membuka peluang terjadi banyak pemalsuan hadis.
Kajian yang dilakukan oleh umat Islam termotivasi atas peran hadis sebagai sumber ajaran dan hukum bagi umat Islam setelah al-Qur’an (ilmu agama). Sedangkan, bagi kalangan orientalis tujuan mereka adalah membuktikan keotentikan hadis dengan menggunakan pendekatan historis.
Pada Abad ke 19 hadis mulai menjadi kajian yang serius bagi sarjana Barat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya karya Ignaz Goldziher yaitu Muhammadanische Studien. Karya ini kemudian menjadi masterpiece yang menjelaskan mengenai kesejarahan hadis. Ada banyak orientalis yang mencoba untuk melakukan kajian hadis (keotentikannya).  Herbert Berg membagi mereka dalam empat kategori, yaitu skeptis, non-skeptis, midle ground dan new skeptis.
Nabia Abbott merupakan salah seorang orientalis yang menurut Herbert Berg sebagai seorang yang non-skeptis. Dia seorang ahli ketimuran khusunya di bidang manuskrip-manuskrip Timur Tengah. Dia beragumen untuk menjawab keraguan para skeptism terhadap keotentikan hadis. Berbeda dengan Ignaz Goldizer yang menyatakan bahwa fenomena kitab hadis yang muncul pada abad ketiga hijriyyah disebabkan pertumbuhan pada matannya yang kemudian sebagai pintu awal munculnya pemalsuan hadis, Nabia Abbott menyatakan bahwa fenomena tersebut karena pertumbuhan isnad yang berlipat ganda. Nabia Abbott dalam hal ini menggunakan metode geometri untuk menjelaskan fenomena tersebut.  Dalam tulisan ini akan memaparkan mengenai pemikiran-pemikiran yang diutarakan oleh Nabia Abbott.

B.     Biografi Nabia Abbott
Lahir di Mardin, Barat-Daya Turki pada tanggal 31 Januari 1897 dan meninggal pada tahun 1981. Ayahnya seorang pedagang, semasa kecil hidupnya berpindah-pindah, ia mengembara bersama keluarganya dalam sebuah iring-iringan tertutup dalam sebuah kafilah ke Mosul dan mengarungi sungai Tigris ke Baghdad. Sesudah itu, keluarga tersebut bergerak terus untuk kemudian menetap di Bombay.[1]
a.       Penddikan
Nabia Abbott mendapatkan sebagian besar pendidikannya, masuk ke sekolah-sekolah berbahasa Inggris di India. Mengambil jenjang  B.A. di Lucknow’s Isabella Thorbom College lulus pada tahun 1919 di India. Menyelesaikan jenjang Master di Universitas Boston lulus pada tahun 1925
b.      Pekerjaan
Anggota fakultas dan ketua departemen sejarah di Asburry College di Wilmore Kentucky sampai tahun 1933 Pengkaji koleksi Oriental Institute di bawah arahan Martin Sprengling, Professor bahasa Arab di Oriental Institute.[2]
c.       Kehidupan Nabia Abbott dan Karya-karyanya
Sebelum mendiskusikan teori-teori Nabia Abbott tentang pertumbuhan isnâd dan periwayatan hadis secara tertulis, perlu kiranya diungkapkan latar belakang kehidupannya, pendidikannya dan karir akademisnya. Ini penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pikirannya.
Di mata teman-teman sejawatnya, Nabia Abbott adalah seorang ilmuwan. Pada tahun 1933, ia adalah perempuan pertama yang menjadi anggota the Oriental Institute, Universitas Chicago dan pada tahun 1963, ia menjadi Professor Emeritus. Dalam sebuah penghargaan yang diterbitkan di laporan tahunan Institute tersebut pada tahun 1974, Dr.Muhsin Mahdi, Professor bahasa Arab dan Ketua Departemen Near Eastern Languanges memberi komentar tentang berbagai diskriminasi yang harus dihadapi oleh Nabia Abbott sebagai seorang wanita profesional di masa pra-kebebasan dan menyebut berbagai keberhasilan utamanya seperti, karya pionirnya tentang kedudukan wanita di Timur Tengah, studi klasiknya tentang munculnya naskah Arab Utara; penyelidikannya yang masif, melelahkan dan pembuka jalan terhadap papyrus Arab yang pada gilirannya telah merevolusi kajian kebudayaan Islam awal.[3]
Ketika perang dunia pertama, ia mengambil jenjang B.A. di Lucknow’s Isabella Thorbom College untuk anak-anak perempuan dan lulus pada tahun 1919. Setelah perang usai, ia sempat mengunjungi Irak dalam waktu singkat di mana ia terlibat dalam pendirian program pendidikan perempuan, sebuah permasalahan yang terus menarik baginya di tahun-tahun selanjutnya. Keluarganya kemudian pindah ke Amerika Serikat, di mana ia mengiringi mereka dan mengambil jenjang masternya di Universitas Boston dan lulus pada tahun 1925. Kemudian, Ia pertama-tama menjadi anggota fakultas dan kemudian menjadi Ketua Departemen Sejarah di Asburry College di Wilmore Kentuky di mana ia tetap bekerja di sana hingga tahun 1933.
Ketika keluarganya pindah ke Chicago pada tahun itu, ia bekerja di bawah Martin Sprengling, Professor bahasa Arab di Oriental Institute dan memulai karirnya di sana dengan mengkaji koleksi Institute tersebut yang berisi dokumen-dokumen Islam awal yang sangat langkah. Untuk melakukan hal ini, ia membenamkan dirinya sendiri dalam sejarah masyarakat Islam awal, yang darinya ia mulai tertarik dengan kedudukan wanita dalam masyarakat Islam.
Sebagai seorang ilmuan, Nabia Abbott meninggalkan beberapa karya yang cukup monumental yang meliputi kajian tentang Quran, hadis, dan juga kajian wanita, di antaranya adalah:
1.      The Monasteries of the Fayyum. University Microfilms, 1937.
2.      The Kurrah Papyri from Aphrodito in the Oriental Institute. University of Chicago Press, 1938.
3.      The Rise of the North Arabic Script and Its Kur`anic Development, with a Full Description of the Kur`an Manuscript in the Oriental Institute. University of Chicago Press, 1939.
4.       A`ishah – The Beloved of Mohammed. The University of Chicago Press, 1942.
5.      Two Queens of Baghdad. The University of Chicago Press, 1946.
6.       “Women and the State in Early Islam”, in Journal of Near Eastern Studies I (1942)
7.      “Women”, in Rut Nanda Anshen, ed., Mid-East World Center Yesterday, Today and Tomorrow, Science of Culture Series Vol. 7, New York 1956.
8.      Studies in Arabic Literary Papyri, Vol. II Qur`anic Commentary and Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1967.
9.       “Hadith Literature: Collection and Transmission of Hadith,” dalam A.F.L. Beeston and Others (eds.)Arabic Literature to the End of Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.[4]

C.    Pertumbuhan Isnâd Hadis
Nabia Abbott, seorang orientalis terkemuka yang telah melakukan penelitian secara luas dan sungguh-sungguh terhadap kitab hadis dan papyrus Arab, mengamati bahwa pertumbuhan fenomenal kitab hadis itu bukan disebabkan oleh pertumbuhan di dalam matan hadisnya, tetapi oleh pertumbuhan jalur isnâd secara berlipat ganda. Dengan kata-katanya sendiri, Abbott mengatakan demikian,
“…the tradition of Muhammad as transmitted by his Companions and their Successors were, as a rule, scrupulously scrutinized at each step of the transmission, and that the so called phenomenal growth of Tradition in the second and the third centuries of Islam was not primarily growth of content, so far as the hadith of Muhammad and the hadith of the Companion are concerned, but represent largely the progressive increase in parallel and multiple chains of transmission.”
Sebagai contoh, seorang shahabat meriwayatkan satu hadis kepada dua orang tabiin dan dua orang ini meriwayatkan hadis yang sama kepada dua orang periwayat hadis pada generasi berikutnya. Jika rangkaian periwayatan ini terus berlanjut hingga generasi (thabaqah) keempat dan kedelapan yang mewakili generasi al-Zuhri dan Ibnu Hanbal, maka pada generasi keempat, jumlah isnâd mencapai angka 16 dan pada generasi kedelapan, jumlah itu berlipat ganda hingga 256 jalur. Oleh karena itu, dengan menerapkan deret ukur (geometric progression) secara matematis, Nabia Abbott menyimpulkan.

D.    Periwayatan hadis secara tertulis
Nabia Abott mencoba untuk menyanggah bahwa ada sebuah permulaan dan praktek yang berlanjut terhadap penulisan hadis dalam Islam. Pada “early” (permulaan) dia  maksud itu para sahabat Nabi mereka sendiri  memegang catatan naskah hadis dan pada “continuous” bahwa sebagian besar hadis dieiwayatkan  dalam bentuk naskah (disamping periwayatan lisan) sampai dengan disusun dalam koleksi  yang utuh. Menurut dia, kemudian, hal itu merupakan periwayatan hadis secara tertulis yang menyajikan sebagai jaminan dari keaslian mereka.
Menurut Nabia Abbott, kegiatan tulis menulis bukan merupakan hal yang asing bagi kalangan masyarakat Arab. Masyarakat Arab mengenal shahifah, nabi juga memiliki juru tulis yaitu Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk menulis semua surat yang dikirim nabi kepada para pembesar-besar negara lain.
Pada masa Nabi hingga sahabat Umar dan Utsman, umat Islam terfokus pada pembukuan al-Qur’an dan penyeragaman al-Qur’an. Namun setelah itu, umat Islam mulai memfokuskan diri pada periwayatan hadis, kemudian puncaknya pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz pada abad kedua yang menyerukan untuk melakukan kodifikasi hadis.[5]

DAFTAR PUSTAKA
Digilib.UIN-Suka.ac.id.
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan “Metode kritik hadis”,  (Jakarta : 2009, Hikmah),
Masrur Ali, Jurnal Ilmiah Agama dan Social Budaya. (Bandung:2010,Fakultas Ushuluddin Press).




[1] Digilib.UIN-Suka.ac.id. di unduh pada tanggal 28/04/2016
[2] ibid
[3] Kamaruddin Amin,Menguji Kembali Keakuratan “Metode kritik hadis”,  (Jakarta : 2009, Hikmah), hlm. 125.
[4] Masrur,Ali,Jurnal Ilmiah Agama dan Social Budaya. (Bandung:2010,Fakultas Ushuluddin Press).
[5] Digilib.UIN-Suka.ac.id. di unduh pada tanggal 28/04/2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MADZAB TAFSIR “Pengertian, wilayah kajian dan signifikansinya”

Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan “Tafsir Indonesia”

Penulisan AL-Quran atau Rasm AL-Quran