Pemikiran para orientalis "TAFSIR ORIENTALIS"

TAFSIR ORIENTALIS

     Toshihiko Izutsu

a.      Biografi
Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada tanggal 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana agama Zen yang sangat kental. Ayahnya seorang pemimpin agama Zen yang sangat militan dan ketat dalam mendidik dan menanamkan penghayatan terhadap agam Zen, sehingga Toshihiko pun mulai jenuh dan bosan dalam menghayati agama tersebut. Kejenuhannya ini dilampiaskannya dengan mempelajari berbagai bahasa, termasuk bahasa arab, yang merupakan bahasa kitab suci umat Islam, Al-Quran.
Izutsu belajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Keio, Jepang. Kemudian dengan alasan ingin diajar oleh professor favoritnya,  ia kemudian pindah ke Departemen Sastra Inggris. Ia menjadi asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar B.A. Pada tahun 1958 ia telah berhasil menyelesaikan terjemahan pertamanya, Al-Quran dari bahasa Arab  ke bahasa Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya dan banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan tugas-tugas akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu belajar mengenai Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau di tahun yang sama. Kemudian Rocke Fellen Foundation, the human division memberikan dana bantuan kepadanya untuk mendapat tambahan dua tahun study tour di dunia muslim, yaitu pada tahun 1959- 1961.
Toshihiko Izutsu adalah seorang professor yang sangat berbakat di bidang bahasa asing, Ia menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sankskerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Penelitian yang dilakukan Toshihiko Izutsu bergerak di tempat- tempat seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara dan Asia, dengan penekanan pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistic teks-teks metafisik tradisional. Jadi tidak heran jika beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab.
b.      Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik
Secara etimologi “semantik”  mengandung makna “berarti” (dari kata benda) dan semainen (bentuk verb) bermakna to signify “menandakan atau menunjukan” yang berasal dari akar kata sema “tanda”. Sedangkan secara terminologi yaitu ilmu tentang hubungan simbol – simbol linguistik dengan hal- hal lain dari simbol itu sendiri dengan mengacu pada:
 a). apa yang yang mereka artikan dan  b). apa yang mereka acu Atau bisa disebut juga dengan analisis makna.
            Dan menurut Izutsu sendiri semantik adalah disiplin atau ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, karena begitu luas hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna yang merupakan objek semantik. Dan lebih lanjut izutsu menerangkan bahwa semantik adalah kajian analitik terhadap istilah –istilah kunci suatu bahasa dengan satu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakata yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini adalah semacam weltanschauung-lehre, kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep - konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.
Bahwa kata al-Qur’an dalam frasa “semantik al-Qur’an” harus dipahami hanya dalam pengertian weltanschauung al-Qur’an atau pandangan dunia Qur’ani, yaitu visi Qur’ani tentang alam semesta. Semantik al-Qur’an terutama akan mempermasalahkan persoalan-persoalan bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia, dan bagaiman semua itu terkait satu sama lain menurut pandangan kitab suci tersebut. Dalam pengertian ini, ia semacam ontologi- suatu ontologi yang kongkret, hidup dan dinamik, bukan semacam ontologi sistematik statis yang dihasilkan seorang filsuf pada tingkata pemikiran metafisika yang abstrak. Analisa semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkata kongkret sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Qur’an. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.

2.      John Wensbrough

a.      Biografi
John Wansbrough, nama lengkapnya John Edward Wansbrought, ia adalah sejarawan Amerika yang belajar di Universitas London. Ia mengambil studi pada Afrika dan Oriental yaitu School of Oriental and Afrikan Studies (SOAS). Kemudian dia melengkapi studinya di Universitas Harvard, kemudian dia berkarir di SOAS sampai dia meninggal. Wansbraugh lahir pada tanggal 19 Februari 1928 di Peoria, Illinois dan meninggal pada tanggal 10 Juni 2002 di Montaigu-de-Quercy, Prancis.

b.      Pemikiran John Wensbrough

Wansbrough menitikberatkan kritikan pada cerita atau catatan tradisional dari asal usul Islam. Dia menyebabkan sebuah kehebohan di tahun 1970, ketika penelitiannya pada manuskrip-manuskrip dari sejak awal Islam. Dalam analisisnya, munculnya monoteisme (kepercayaan tuhan itu satu) dalam Islam sebenarnya adalah meniru (mengulang) dari monoteisme Yahudi dan Nasrani. Munculnya Islam adalah suatu mutasi atau pemisahan diri dari sekte Yahudi Nasrani yang kemudian mencoba untuk disebarkan di tanah Arab, yang lebih diterima dari pada difusi  atau percampuran budaya. Ketika kitab suci Yahudi dan Nasrani berkembang disesuaikanlah  kepada pandangan orang-orang Arab dan dimutasi kedalam apa yang dinamakan Al-Qur’an yang berkembang lebih berabad-abad dengan konstribusi-konstribusi dari berbagai sumber adat Arab. Penelitian  Wansbrough menyatakan bahwa ada suatu hubungan yang besar dari sejarah tradisional Islam ditampakkan menjadi sebuah bikinan/buatan generasi-generasi berikutnya dengan cara memalsukan dan membenarkan sebuah identitas keagamaan yang khusus. Dalam kontek ini, karakter dari Muhammad dapat dilihat  sebagai sebuah mitos/dongeng yang diciptakan untuk menyakinkan suku-suku Arab agar  mengakui kenabian Nabi Muhammad, Wansbrough menyebutnya sebagai nabi Yahudi dan Nasrani tapi versi Arab.
Wansbrough dalam penelitiannya menggunakan analisis historis dan literary analysis. Dari analisis yang digunakan dia berpendapat bahwa kenabian Nabi Muhammad hanyalah imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Dan Al-Qur’an Menurutnya bukan sebagai sumber biografi Nabi Muhammad tetapi konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.
Menurut Wansbrough Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad merupakan kepanjangan dari kitab Taurat. Salah satu buktinya adalah penggunaan term setan. Isi-isi Al-Qur’an tersebut oleh orang-orang Islam dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. Kata kitabbullah/ al-kitab yang dirujuk dari Q.S Ash-Shaffat, diartikannya sebagai ketetapan dan otoritas, bukan diartikan sebagai kitab suci.
Selanjutnya untuk menjadikan orang mukmin agar menyakini Nabi Muhammad dan Al-Qur’an yang dibawanya, maka dibuatlah suatu tambahan atau sisipan kata-kata seperti qul dalam QS. Al-An’am:15, Ar-Ra’du:36, dan Al-Ankabut:52, dalam rangka menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad dan wahyu Al-Qur’an tersebut.
Perjalanan Isra’ nabi Muhammad yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidaklah benar, karena dalam QS. Al-Isra’:1 menurut Wansbrough adalah perjalanannya Nabi  Musa as. Dan dalam ayat itu telah dimodifikasi oleh penulisnya, sehingga seolah-olah Nabi Muhammadlah yang melakukan Isra’.
Pada dasarnya apa yang telah diungkapkan Jhon Wansbrough diatas, bahwa dia punya asumsi ada pengaruh Yahudi-Nasrani dan perpaduan tradisi dan Al-Qur’an dalam Post-Profetic. Dan dalam Al-Qur’an terdapat kesamaan dengan kitab sebelumnya.
3. Ignaz Goldziher
a.       Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budhapes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869, hanya satu tahun ia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”[1].
Kemudian Goldziher kembali ke Budhapes dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di Universitas Budhapes pada tahun 1872, namun ia tidak lama mengajar. Sebab ia diutus oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan ke Luar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat bertukar kajian di Universitas al-Azhar.
Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budapes, dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota badan pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[2]
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali untuk menghadiri konferensi orientalis atau member orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Pada tanggal 13 November 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes.[3]
Goldziher memiliki beberapa karya tulis yang tidak sedikit. Ia terbilang sebagai orientalis yang produktif. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1)      Kritik terhadap Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum”, yang dikerjakan pada tahun 1884. Sebuah buku yang mengulas tentang ushul fiqih, sejarah munculnya madzhab, khususnya madzhab Zhahiriyah, serta kaitannya dengan madzhab-madzhab lain.[4]
2)      Muhammedanische Studien/Dirasah Islamiyyah, juz pertama terbit pada tahun 1889, sedangkan juz kedua terbit pada tahun berikutnya. Pada juz pertama, Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah wa al-Islam. Di juz kedua, Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits, pengkultusan wali di kalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.[5]
3)      Kajian terhadap al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim as-Sijistani pada tahun 1899.[6]
4)      Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910). Buku ini membahas Muhammad dan Islam, Perkembangan Syariat, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan Tasawuf yang menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan perkembangannya, yaitu sejak peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wahdat al-wujud pada abad ke-7 Hijriyah. Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga berbagai aliran yang terdapat dalam Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan aliran-aliran yang muncul pada masa kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah, Babiyah, dan Ahmadiyah.[7]
5)      Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung/Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Leiden, 1920).[8] Karya inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.
b.      Pemikiran Ignaz Goldziher Dalam Buku Madzahib Tafsir
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu karya besar Goldziher adalah Madzahib at-Tafsir al-Islami. Pada bagian ini akan diulas buku tersebut secara ringkas.
1)      Qira’at Qur’aniyah,
Tema tentang qira’at dari kalangan sarjana Muslim minim dibandingkan dengan tema-tema lain dalam studi al-Qur’an. Tokoh pertama kali yang membahas tentang perbedaan qira’at adalah seorang Yahudi dari Bashrah yang masuk Islam, Harun ibn Musa (m. 170-180 H).[9]
Goldziher dengan panjang lebar tentang ikhtilaf al-Qira’at (perbedaan bacaan) al-Qur’an, yang kemudian menghasilkan sebuah tesis “Islam tidak memiliki teks pemersatu (ليس للإسلام نص موحد)”. Menurutnya, tidak ada sebuah kitab suci yang tidak konsisten melebihi al-Qur’an.[10]
Untuk mendukung tesisnya, ia menjelaskan bahwa sejarah mencatat perbedaan qira’at (bacaan al-Qur’an) yang terjadi di kalangan sahabat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ‘ala sab’ah ahruf.
روى البخاري ومسلم في صحيحهما عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل استزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف.[11]
Goldziher juga memaparkan empat puluh tujuh (47) kalimat dalam al-Qur’an yang memiliki perbedaan cara baca. Kalimat-kalimat tersebut dijadikan bukti bahwa tidak ada nash (teks) pemersatu dalam al-Qur’an.[12]
Terjadinya perbedaan qira’at ini dikarenakan karakteristik bahasa Arab sendiri, di mana beda titik saja sudah bisa membuat perubahan yang cukup signifikan.[13] Lebih lanjut, Goldziher menyimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan qira’at:
a)      Adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi, di mana jumlah titik dan letaknya mempengaruhi cara baca huruf huruf tersebut.[14] Perbedaan dikarenakan titik ini bisa tidak berpengaruh terhadap makna yang dikehendaki al-Quran, semisal lafadz (اىاه) dalam QS. At-Taubah:114:
وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه، فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم
Lafadz yang ditandai warna kuning memiliki dua versi cara baca; (إِيَّاهُ) adalah qira’at masyhurah dan (أَباهُ) qira’at gharib (Hammad). Namun perbedaan letak titik ini tidak menimbulkan perbedaan makna yang signifikan.[15]
Bisa juga perbedaan titik menyebabkan perbedaan makna yang  signifikan, semisal lafadz (فاقتلوا) dalam surat al-Baqarah ayat 54:
وإذ قال موسى لقومه يا قوم إنكم ظلمتم أنفسكم باتخاذكم العجل فتوبوا إلى بارئكم فاقتلوا أنفسكم ذلكم خير لكم عند بارئكم فتاب عليكم إنه هو التواب الرحيم
Lafadz yang berwarna kuning bisa dibaca فَاقْتُلُوا dan فَأَقِيْلُوا. Versi pertama memberikan makna “taubat umat Musa yang sesungguhnya adalah dengan bunuh diri ”, sementara versi kedua berarti “taubat nasuha” sebagaimana dalam pemahaman kita.[16]
b)      Perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca),[17] yang bisa menyebabkan perbedaan gramatikal.[18] Ia memberi contoh surat ar-Ra’d ayat 43: ومن عنده علم الكتاب. Ayat di atas memiliki tiga kemungkinan cara baca: pertamaوَمَنْ عِنْدَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ. Kedua, وَمِنْ عِنْدِهِ عِلْمُ الْكِتاَبِ. Ketiga, وَمِنْ عِنْدِهِ عُلِمَ الْكِتَابُ.[19] Yang kesemuanya memiliki sisi gramatika yang benar.
c)      Penambahan tafsir oleh sebagian sahabat diklaim memiliki andil dalam memperkeruh perbedaan cara baca tersebut.[20] Dalam hal ini goldziher merujuk kepada mushaf yang dimiliki oleh beberapa sahabat, di mana dalam mushaf tersebut tercantum ayat-ayat al-Qur’an dan tafsirnya, dengan kata lain ia berpedoman kepada rasm. Salah satu contoh ayat 50 surat Ali Imran:[21]
وجئتكم بآية من ربكم فاتقوا الله من أجل ما جئتكم به وأطيعون فيما دعوتكم إليه.
Kalimat yang bergaris bawah di atas merupakan penafsiran sahabat yang ditulis tanpa ada tanda pemisah antara ayat al-Qur’an dan tafsirnya.
2)      Tipologi Tafsir (Madzahib Tafsir)
a)      Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada masa awal Islam hingga abad kedua Hijriyah, sahabat enggan menyibukkan diri mereka dengan tafsir (bi ad-dirayah). Diriwayatkan bahwa Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Salim ibn Abdillah ibn Umar enggan menafsirkan al-Qur’an.[22] Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai penentang mufassir yang mengandalkan akal (bi al-ra’yi).[23] Tafsir bi al-ra’yi dipandang sebagai hal yang tabu di kalangan sahabat, karena mereka berprinsip bahwa penafsiran al-Qur’an harus didasarkan pada al-‘ilmu, bukan dzann. Ilmu di sini dimaksudkan sebagai riwayat yang datang dari Nabi secara yakin. Sementara penafsiran berdasarkan akal semata bersifat dzann (tidak pasti). Bahkan, tafsir bi al-ra’yi dianggap keliru sekalipun benar. [24]
Kecenderungan sahabat dan tabi’in yang berpegang teguh pada otentisitas riwayat merupakan suatu hal yang sangat berperan dalam usaha “memelihara al-Qur’an”, yang di kemudian hari riwayat dilegitimasi dengan adanya jalur isnad. Penafsiran dengan kecenderungan inilah yang dinamakan dengan tafsir bi al-ma’tsur. [25]
Tafsir bi al-Ma’tsur, secara sederhana, adalah penjelasan ayat al-Qur’an yang didasarkan pada riwayat shahih baik dari Nabi Muhammad SAW maupun dari sahabatnya.[26] Dr. Anshori menambahkan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan hadits Nabi saw, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan sahabat, dan penafsiran al-Qur’an dengan tabi’in.[27]
Di antara tokoh mufassir bi al-Ma’tsuri adalah empat khalifah rasyidin, Aisyah berikut istrei-isteri Rasul yang lain, dan sahabat-sahabat lainnya.[28] Mufassir dari kalangan sahabat yang ternama adalah Abdullah ibn Abbas yang mendapat julukan mu’jizat al-Qur’an, bahr al-ilm, dan turjuman al-Qur’an.[29] Julukan-julukan tersebut merupakan sikap apresiatif terhadap usaha dan upaya Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur’an berdasarkan al-Qur’an itu sendiri atau hadits Nabi. Di samping terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi mendoakan Ibnu Abbas agar diberi pemahaman tentang tafsir al-Qur’an: “allahumma faqqihhu fi ad-din wa ‘allimhu at-ta’wil”.[30]
Namun bukan berarti tafsir bi al-Ma’tsur tidak mengalami kendala, justru dalam pandangan Goldziher kendala penafsiran yang bertitik tolak dari riwayat semakin besar. Maka, kemudian muncul istilah isra’iliyat dan nashraniyat dalam studi tafsir, yaitu riwayat yang merujuk kepada Israil dan Nashrani, dengan tokoh sentralnya Ka’ab al-Ahbar.[31] Di samping kendala lain yaitu, belum terkodifikasinya tafsir.
Tafsir memasuki babak baru, masa kodifikasi, pada abad kedua Hijriyah, namun manuskrip-manuskrip tafsir tersebut tidak bisa dijumpai sampai saat ini.[32] Baru pada awal abad ketiga Hijriyah mulai bemunculan kitab-kitab tafsir yang dikodifikasi dan bisa kita nikmati sampai saat ini, semisal tafsir at-Thabari (251-310 H).[33]
b)      Tafsir fi Dhau’i al-Aqidah (Tafsir Dogmatis)
Goldziher mendeteksi adanya tendensi teologis da sektarian dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan rinci, ia memaparkan berbagai contoh ayat sebagai bukti atas pernyataannya.
Dalam hal ini, sekte yang paling disorot adalah Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah.[34] Kedua sekte ini sama-sama mencari legitimasi dari al-Qur’an atas kebenaran akidahnya, sehingga bisa menjaring anggota dan pengikut yang lebih banyak.  Sebut saja seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka, Zamakhsyari (467-538 H), yang menulis kitab tafsir “al-Kasysyaf ‘an Haqaiq ghowamidh at-Tanzil”.[35] Dalam tafsir ini, terlihat dengan jelas tendensi Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan selera sektenya. Misalnya, ketika ia menafsirkan ayat 105 Surat Ali Imran: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka….”. Ia menafsirkan kata “orang-orang yang bercerai berai dan berselisih” dengan golongan Musyabbihah, Hasyawiyah, dan sebagainya, di mana term-term itu adalah sebutan Zamakhsyari untuk golongan Ahlus Sunnah.[36]
Di antara ayat yang diperselisihkan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah adalah ayat-ayat tentang iman terhadap khurafat dan hal-hal yang menakjubkan[37], percaya terhadap adanya jin[38], karomah para wali[39], dan sebagainya. Di mana Mu’tazilah dalam hal ini menjadi kubu penentang, sementara Ahlus Sunnah meyakini eksistensi dari hal-hal tersebut.
c)      Tafsir fi Dhau’i at-Tashawwuf al-Islami (Tafsir Sufi)
Gerakan tasawuf mengalami beberapa tahapan, dimulai dari sikap zuhudi terhadap dunia, hingga akhirnya bermuara pada hakikat Allah sebagaimana ajaran hulul. Gerakan ini juga berusaha mencari dasar legitimasi dari al-Qur’an, walaupun memang diakui bahwa menemukan legitimasi secara nyata dari al-Qur’an bukan merupakan hal yang mudah bagi para sufi.[40] Sebab, mereka tidak berkutat pada makna lahiriah al-Qur’an, akan tetapi berusaha menemukan makna tersirat di balik lafadz-lafadznya.[41]
Dengan asumsi bahwa al-Qur’an memiliki makna tersirat inilah, para sufi berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan selera dan frame work mereka, yang kemudian penafsiran dengan tendensi ini disebut dengan tafsir sufi.
Gerakan penafsiran ini dimulai oleh gerakan Ikhwanus Shafa di Bashrah pada abad sepuluh Masehi,[42] walaupun pada hakikatnya Ikhwanus Shafa tidak bergerak dalam bidang tasawuf, namun benih-benih munculnya tafsir ala sufi ini dimulai dari gerakan tersebut.
Ihkwanus Shafa adalah sebuah gerakan yang membidangi permasalahan politik di masa Khilafah Abbasiyah, namun kemudian beralih haluan menjadi gerakan keagamaan yang bersikap asketisme layaknya para sufi.
Dalam menafsirkan al-Quran, terutama menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ketuhanan, zat, sifat ataupun perbuatan Tuhan. Para sufi Islam senantiasa melihat sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam al-Quran dengan perhatian penuh, untuk memeliharanya dalam satu integralitas atau beberapa hal lain dari dua hal berbeda.
c.       Metodologi Ignaz Goldziher
Dilihat dari buku Goldziher tersebut, nampaknya ia menggunakan Historical Approach (pendekatan sejarah) dan diakronis. Dikatakan menggunakan pendekatan kritik Sejarah, sebab untuk menemukan dan menyimpulkan aliran-aliran Tafsir, ia melakukan penelusuran sejarah dengan memilah-milah mana yang merupakan data sejarah dan mana yang berupa fakta sejarah. Data sejarah adalah segala informasi yang berkaitan dengan sejarah tertentu, tanpa adanya validasi otentisitasnya. Berbeda dengan fakta sejarah, dari berbagai data sejarah tersebut, kemudian dianalisis dan dipilih data yang paling banyak didukung oleh bukti sejarah.
Kajiannya juga dikatakan bersifat diakronis, sebab usahanya dalam menelusuri sejarah bukan tertentu pada satu kurun saja, namun lintas masa.



[1] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 129.
[2]Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 129.
[3] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 129-130.
[4] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 130.
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 130-131.
[6] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003),hlm. 132.
[7] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003),hlm. 132-133.
[8]Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 133.
[9]Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 55-56.
[10] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 4.
[11] Muhammad Ali Shabuni, At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2003), hlm. 215-218.
[12] Muhammad Hasan Jabal, Ar-Rad ‘ala al-Mustasyriq al-Yahudi Goldziher fi Matha’inihi ‘ala al-Qira’ah al-Qur’aniyah (Tonto: Tanpa Penerbit, cet. II, 2002), hlm. 84.
[13] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 8.
[14] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 8
[15] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955) hlm. 9.
[16] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955) hlm. 10-11.
[17] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955)
[18] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955) hlm. 13.
[19] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955),hlm. 14.
[20] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 15-16.
[21]Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 21
[22] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 73.
[23] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 78.
[24] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 80.
[25] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 82.
[26] Fahd bin Abd. Rahman Rumi, Buhuts fi Ushul at-Tafsir wa Manahijihi (Tanpa Tempat: Maktabah at-Taubah, t.t), hlm. 71.
[27] Anshori, Tafsir bil Ra’yi: Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 2.
[28] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 83.
[29] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 83
[30] Anshori, Tafsir bil Ra’yi: Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 9.
[31] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 101.
[32] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 106.
[33] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 107.
[34] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 124.
[35] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 141.
[36] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 148.
[37] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 162.
[38] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 165.
[39] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 167.
[40] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 201.
[41] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 203.
[42]Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja, 1955), hlm. 208.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MADZAB TAFSIR “Pengertian, wilayah kajian dan signifikansinya”

Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan “Tafsir Indonesia”

Penulisan AL-Quran atau Rasm AL-Quran