Pemikiran para orientalis "TAFSIR ORIENTALIS"
TAFSIR ORIENTALIS
Toshihiko Izutsu
a.
Biografi
Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada
tanggal 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993. Ia dilahirkan dan dibesarkan
dalam suasana agama Zen yang sangat kental. Ayahnya seorang pemimpin agama Zen
yang sangat militan dan ketat dalam mendidik dan menanamkan penghayatan
terhadap agam Zen, sehingga Toshihiko pun mulai jenuh dan bosan dalam
menghayati agama tersebut. Kejenuhannya ini dilampiaskannya dengan mempelajari berbagai
bahasa, termasuk bahasa arab, yang merupakan bahasa kitab suci umat Islam,
Al-Quran.
Izutsu belajar di Fakultas Ekonomi di
Universitas Keio, Jepang. Kemudian dengan alasan ingin diajar oleh professor
favoritnya, ia kemudian pindah ke Departemen Sastra Inggris. Ia menjadi
asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar B.A. Pada tahun
1958 ia telah berhasil menyelesaikan terjemahan pertamanya, Al-Quran dari
bahasa Arab ke bahasa Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya
dan banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan tugas-tugas
akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu belajar mengenai Islam di East
Asiatic Economic Investigation Bureau di tahun yang sama. Kemudian Rocke Fellen
Foundation, the human division memberikan dana bantuan kepadanya untuk mendapat
tambahan dua tahun study tour di dunia muslim, yaitu pada tahun 1959-
1961.
Toshihiko Izutsu adalah seorang
professor yang sangat berbakat di bidang bahasa asing, Ia menguasai lebih dari
30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sankskerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani.
Penelitian yang dilakukan Toshihiko Izutsu bergerak di tempat- tempat seperti
Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara dan Asia, dengan
penekanan pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi
linguistic teks-teks metafisik tradisional. Jadi tidak heran jika beliau mampu
mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa
Arab.
b.
Pemikiran
Toshihiko Izutsu tentang Semantik
Secara etimologi “semantik” mengandung makna “berarti” (dari kata
benda) dan semainen (bentuk verb) bermakna to signify “menandakan
atau menunjukan” yang berasal dari akar kata sema “tanda”. Sedangkan
secara terminologi yaitu ilmu tentang hubungan simbol – simbol linguistik
dengan hal- hal lain dari simbol itu sendiri dengan mengacu pada:
a). apa yang yang mereka artikan dan b).
apa yang mereka acu Atau bisa disebut juga dengan analisis makna.
Dan
menurut Izutsu sendiri semantik adalah disiplin atau ilmu yang berhubungan
dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, karena begitu
luas hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna yang merupakan
objek semantik. Dan lebih lanjut izutsu menerangkan bahwa semantik adalah
kajian analitik terhadap istilah –istilah kunci suatu bahasa dengan satu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung
atau pandangan dunia masyarakata yang menggunakan bahasa itu tidak hanya
sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan
dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini adalah
semacam weltanschauung-lehre, kajian tentang sifat dan struktur
pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang
signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep -
konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal
ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.
Bahwa kata al-Qur’an dalam frasa “semantik
al-Qur’an” harus dipahami hanya dalam pengertian weltanschauung al-Qur’an
atau pandangan dunia Qur’ani, yaitu visi Qur’ani tentang alam semesta. Semantik
al-Qur’an terutama akan mempermasalahkan persoalan-persoalan bagaimana dunia
wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia, dan bagaiman semua itu terkait satu
sama lain menurut pandangan kitab suci tersebut. Dalam pengertian ini,
ia semacam ontologi- suatu ontologi yang kongkret, hidup dan dinamik, bukan
semacam ontologi sistematik statis yang dihasilkan seorang filsuf pada tingkata
pemikiran metafisika yang abstrak. Analisa semantik ini akan membentuk ontologi
wujud dan eksistensi pada tingkata kongkret sebagaimana tercermin pada
ayat-ayat al-Qur’an. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang
dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap
konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam
pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.
2.
John Wensbrough
a. Biografi
John Wansbrough,
nama lengkapnya John Edward Wansbrought, ia adalah sejarawan Amerika yang
belajar di Universitas London. Ia mengambil studi pada Afrika dan Oriental
yaitu School of Oriental and Afrikan Studies (SOAS). Kemudian dia melengkapi studinya
di Universitas Harvard, kemudian dia berkarir di SOAS sampai dia meninggal.
Wansbraugh lahir pada tanggal 19 Februari 1928 di Peoria, Illinois dan
meninggal pada tanggal 10 Juni 2002 di Montaigu-de-Quercy, Prancis.
b. Pemikiran
John Wensbrough
Wansbrough
menitikberatkan kritikan pada cerita atau catatan tradisional dari asal usul
Islam. Dia menyebabkan sebuah kehebohan di tahun 1970, ketika penelitiannya
pada manuskrip-manuskrip dari sejak awal Islam. Dalam analisisnya, munculnya
monoteisme (kepercayaan tuhan itu satu) dalam Islam sebenarnya adalah meniru
(mengulang) dari monoteisme Yahudi dan Nasrani. Munculnya Islam adalah suatu
mutasi atau pemisahan diri dari sekte Yahudi Nasrani yang kemudian mencoba
untuk disebarkan di tanah Arab, yang lebih diterima dari pada difusi atau percampuran budaya. Ketika kitab
suci Yahudi dan Nasrani berkembang disesuaikanlah kepada pandangan orang-orang Arab dan
dimutasi kedalam apa yang dinamakan Al-Qur’an yang berkembang lebih
berabad-abad dengan konstribusi-konstribusi dari berbagai sumber adat Arab.
Penelitian Wansbrough
menyatakan bahwa ada suatu hubungan yang besar dari sejarah tradisional Islam
ditampakkan menjadi sebuah bikinan/buatan generasi-generasi berikutnya dengan
cara memalsukan dan membenarkan sebuah identitas keagamaan yang khusus. Dalam
kontek ini, karakter dari Muhammad dapat dilihat sebagai sebuah mitos/dongeng yang
diciptakan untuk menyakinkan suku-suku Arab agar mengakui kenabian Nabi Muhammad,
Wansbrough menyebutnya sebagai nabi Yahudi dan Nasrani tapi versi Arab.
Wansbrough dalam
penelitiannya menggunakan analisis historis dan literary analysis. Dari
analisis yang digunakan dia berpendapat bahwa kenabian Nabi Muhammad hanyalah
imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang dikembangkan secara teologis
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Dan Al-Qur’an Menurutnya bukan
sebagai sumber biografi Nabi Muhammad tetapi konsep yang disusun sebagai
teologi Islam tentang kenabian.
Menurut
Wansbrough Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad merupakan kepanjangan
dari kitab Taurat. Salah satu buktinya adalah penggunaan term setan. Isi-isi
Al-Qur’an tersebut oleh orang-orang Islam dinaikkan derajatnya menjadi kitab
suci yang bernilai mutlak. Kata kitabbullah/
al-kitab yang dirujuk dari
Q.S Ash-Shaffat, diartikannya sebagai ketetapan dan otoritas, bukan diartikan
sebagai kitab suci.
Selanjutnya
untuk menjadikan orang mukmin agar menyakini Nabi Muhammad dan Al-Qur’an yang
dibawanya, maka dibuatlah suatu tambahan atau sisipan kata-kata seperti qul dalam QS. Al-An’am:15, Ar-Ra’du:36,
dan Al-Ankabut:52, dalam rangka menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad dan wahyu
Al-Qur’an tersebut.
Perjalanan Isra’
nabi Muhammad yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidaklah benar, karena dalam QS.
Al-Isra’:1 menurut Wansbrough adalah perjalanannya Nabi Musa as. Dan dalam ayat itu telah
dimodifikasi oleh penulisnya, sehingga seolah-olah Nabi Muhammadlah yang
melakukan Isra’.
Pada dasarnya
apa yang telah diungkapkan Jhon Wansbrough diatas, bahwa dia punya asumsi ada
pengaruh Yahudi-Nasrani dan perpaduan tradisi dan Al-Qur’an dalam Post-Profetic. Dan dalam Al-Qur’an terdapat kesamaan
dengan kitab sebelumnya.
3. Ignaz
Goldziher
a.
Biografi Ignaz
Goldziher
Ignaz
Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari
keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak
seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu. Pendidikannya
dimulai dari Budhapes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869, hanya
satu tahun ia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru
besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser,
sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di
bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870
dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad
Tengah”[1].
Kemudian
Goldziher kembali ke Budhapes dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di
Universitas Budhapes pada tahun 1872, namun ia tidak lama mengajar. Sebab ia
diutus oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan ke Luar negeri untuk meneruskan
pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan
ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke
Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat bertukar kajian di
Universitas al-Azhar.
Ketika
diangkat sebagai pemimpin Universitas Budapes, dia sangat menekankan kajian
peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah
melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai
anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota badan
pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya
pada tahun 1907.[2]
Pada
tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia
hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali untuk
menghadiri konferensi orientalis atau member orasi pada seminar-seminar di
berbagai universitas asing yang mengundangnya. Pada tanggal 13 November 1921,
akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes.[3]
Goldziher
memiliki beberapa karya tulis yang tidak sedikit. Ia terbilang sebagai
orientalis yang produktif. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1)
Kritik terhadap
“Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum”, yang dikerjakan pada
tahun 1884. Sebuah buku yang mengulas tentang ushul fiqih, sejarah
munculnya madzhab, khususnya madzhab Zhahiriyah, serta kaitannya dengan
madzhab-madzhab lain.[4]
2)
Muhammedanische
Studien/Dirasah Islamiyyah, juz
pertama terbit pada tahun 1889, sedangkan juz kedua terbit pada tahun
berikutnya. Pada juz pertama, Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah wa
al-Islam. Di juz kedua, Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan
hadits, pengkultusan wali di kalangan umat Islam dan berbagai hal yang
berkaitan dengannya.[5]
3)
Kajian terhadap
al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim as-Sijistani pada tahun 1899.[6]
4)
Muhadharat fi
al-Islam (Heidelberg, 1910). Buku ini
membahas Muhammad dan Islam, Perkembangan Syariat, Perkembangan Ilmu Kalam,
Zuhud dan Tasawuf yang menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan
perkembangannya, yaitu sejak peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis dan
Hindu hingga timbulnya paham wahdat al-wujud pada abad ke-7 Hijriyah.
Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga berbagai aliran yang terdapat dalam
Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan aliran-aliran yang muncul pada masa
kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah, Babiyah, dan Ahmadiyah.[7]
5)
Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung/Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Leiden, 1920).[8]
Karya inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.
b.
Pemikiran Ignaz
Goldziher Dalam Buku Madzahib Tafsir
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa salah satu karya besar Goldziher adalah Madzahib
at-Tafsir al-Islami. Pada bagian ini akan diulas buku tersebut secara
ringkas.
1)
Qira’at
Qur’aniyah,
Tema
tentang qira’at dari kalangan sarjana Muslim minim dibandingkan dengan
tema-tema lain dalam studi al-Qur’an. Tokoh pertama kali yang membahas tentang
perbedaan qira’at adalah seorang Yahudi dari Bashrah yang masuk Islam,
Harun ibn Musa (m. 170-180 H).[9]
Goldziher dengan panjang lebar tentang ikhtilaf al-Qira’at
(perbedaan bacaan) al-Qur’an, yang kemudian menghasilkan sebuah tesis “Islam
tidak memiliki teks pemersatu (ليس للإسلام نص موحد)”.
Menurutnya, tidak ada sebuah kitab suci yang tidak konsisten melebihi
al-Qur’an.[10]
Untuk mendukung tesisnya, ia menjelaskan bahwa sejarah
mencatat perbedaan qira’at (bacaan al-Qur’an) yang terjadi di kalangan
sahabat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa al-Qur’an
diturunkan ‘ala sab’ah ahruf.
روى البخاري ومسلم في صحيحهما عن ابن عباس
رضي الله عنهما أنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اقرأني جبريل على حرف
فراجعته فلم أزل استزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف.[11]
Goldziher
juga memaparkan empat puluh tujuh (47) kalimat dalam al-Qur’an yang memiliki
perbedaan cara baca. Kalimat-kalimat tersebut dijadikan bukti bahwa tidak ada nash
(teks) pemersatu dalam al-Qur’an.[12]
Terjadinya perbedaan qira’at ini dikarenakan
karakteristik bahasa Arab sendiri, di mana beda titik saja sudah bisa membuat
perubahan yang cukup signifikan.[13]
Lebih lanjut, Goldziher menyimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan
terjadinya perbedaan qira’at:
a)
Adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi, di mana jumlah titik dan
letaknya mempengaruhi cara baca huruf huruf tersebut.[14]
Perbedaan dikarenakan titik ini bisa tidak berpengaruh terhadap makna yang
dikehendaki al-Quran, semisal lafadz (اىاه)
dalam QS. At-Taubah:114:
وما كان استغفار
إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه، فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه إن إبراهيم لأواه
حليم
Lafadz yang ditandai warna kuning memiliki dua versi
cara baca; (إِيَّاهُ) adalah qira’at
masyhurah dan (أَباهُ) qira’at gharib
(Hammad). Namun perbedaan letak titik ini tidak menimbulkan perbedaan makna
yang signifikan.[15]
Bisa juga perbedaan titik menyebabkan perbedaan makna
yang signifikan, semisal lafadz (فاقتلوا) dalam surat al-Baqarah ayat 54:
وإذ قال موسى
لقومه يا قوم إنكم ظلمتم أنفسكم باتخاذكم العجل فتوبوا إلى بارئكم فاقتلوا أنفسكم ذلكم
خير لكم عند بارئكم فتاب عليكم إنه هو التواب الرحيم
Lafadz yang berwarna kuning bisa dibaca فَاقْتُلُوا dan فَأَقِيْلُوا.
Versi pertama memberikan makna “taubat umat Musa yang sesungguhnya adalah
dengan bunuh diri ”, sementara versi kedua berarti “taubat nasuha” sebagaimana
dalam pemahaman kita.[16]
b)
Perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari
huruf-huruf yang diam (tidak terbaca),[17]
yang bisa menyebabkan perbedaan gramatikal.[18]
Ia memberi contoh surat ar-Ra’d ayat 43: ومن عنده علم
الكتاب. Ayat di atas memiliki tiga kemungkinan cara baca: pertama, وَمَنْ عِنْدَهُ
عِلْمُ الْكِتَابِ. Kedua, وَمِنْ
عِنْدِهِ عِلْمُ الْكِتاَبِ. Ketiga, وَمِنْ
عِنْدِهِ عُلِمَ الْكِتَابُ.[19]
Yang kesemuanya memiliki sisi gramatika yang benar.
c)
Penambahan tafsir oleh sebagian sahabat diklaim memiliki andil dalam memperkeruh
perbedaan cara baca tersebut.[20]
Dalam hal ini goldziher merujuk kepada mushaf yang dimiliki oleh
beberapa sahabat, di mana dalam mushaf tersebut tercantum ayat-ayat
al-Qur’an dan tafsirnya, dengan kata lain ia berpedoman kepada rasm.
Salah satu contoh ayat 50 surat Ali Imran:[21]
وجئتكم بآية من ربكم فاتقوا الله من أجل ما جئتكم به وأطيعون فيما
دعوتكم إليه.
Kalimat
yang bergaris bawah di atas merupakan penafsiran sahabat yang ditulis tanpa ada
tanda pemisah antara ayat al-Qur’an dan tafsirnya.
2)
Tipologi Tafsir
(Madzahib Tafsir)
a)
Tafsir bi
al-Ma’tsur
Pada masa awal Islam hingga abad kedua Hijriyah, sahabat enggan
menyibukkan diri mereka dengan tafsir (bi ad-dirayah). Diriwayatkan
bahwa Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Salim ibn Abdillah ibn Umar enggan
menafsirkan al-Qur’an.[22]
Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai
penentang mufassir yang mengandalkan akal (bi al-ra’yi).[23]
Tafsir bi al-ra’yi dipandang sebagai hal yang tabu di kalangan sahabat,
karena mereka berprinsip bahwa penafsiran al-Qur’an harus didasarkan pada al-‘ilmu,
bukan dzann. Ilmu di sini dimaksudkan sebagai riwayat yang datang dari
Nabi secara yakin. Sementara penafsiran berdasarkan akal semata bersifat dzann
(tidak pasti). Bahkan, tafsir bi al-ra’yi dianggap keliru sekalipun
benar. [24]
Kecenderungan sahabat dan tabi’in yang berpegang teguh pada
otentisitas riwayat merupakan suatu hal yang sangat berperan dalam usaha
“memelihara al-Qur’an”, yang di kemudian hari riwayat dilegitimasi dengan
adanya jalur isnad. Penafsiran dengan kecenderungan inilah yang
dinamakan dengan tafsir bi al-ma’tsur. [25]
Tafsir bi al-Ma’tsur, secara sederhana, adalah penjelasan
ayat al-Qur’an yang didasarkan pada riwayat shahih baik dari Nabi Muhammad SAW
maupun dari sahabatnya.[26]
Dr. Anshori menambahkan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan hadits Nabi saw,
penafsiran al-Qur’an dengan perkataan sahabat, dan penafsiran al-Qur’an dengan
tabi’in.[27]
Di antara tokoh mufassir bi al-Ma’tsuri adalah empat khalifah
rasyidin, Aisyah berikut istrei-isteri Rasul yang lain, dan sahabat-sahabat
lainnya.[28]
Mufassir dari kalangan sahabat yang ternama adalah Abdullah ibn Abbas yang
mendapat julukan mu’jizat al-Qur’an, bahr al-ilm, dan turjuman
al-Qur’an.[29]
Julukan-julukan tersebut merupakan sikap apresiatif terhadap usaha dan upaya
Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur’an berdasarkan al-Qur’an itu sendiri atau
hadits Nabi. Di samping terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi mendoakan
Ibnu Abbas agar diberi pemahaman tentang tafsir al-Qur’an: “allahumma
faqqihhu fi ad-din wa ‘allimhu at-ta’wil”.[30]
Namun bukan berarti tafsir bi al-Ma’tsur tidak mengalami
kendala, justru dalam pandangan Goldziher kendala penafsiran yang bertitik
tolak dari riwayat semakin besar. Maka, kemudian muncul istilah isra’iliyat dan
nashraniyat dalam studi tafsir, yaitu riwayat yang merujuk kepada Israil
dan Nashrani, dengan tokoh sentralnya Ka’ab al-Ahbar.[31]
Di samping kendala lain yaitu, belum terkodifikasinya tafsir.
Tafsir memasuki babak baru, masa kodifikasi, pada abad kedua
Hijriyah, namun manuskrip-manuskrip tafsir tersebut tidak bisa dijumpai sampai
saat ini.[32]
Baru pada awal abad ketiga Hijriyah mulai bemunculan kitab-kitab tafsir yang
dikodifikasi dan bisa kita nikmati sampai saat ini, semisal tafsir at-Thabari
(251-310 H).[33]
b)
Tafsir fi
Dhau’i al-Aqidah (Tafsir Dogmatis)
Goldziher mendeteksi adanya tendensi teologis da sektarian dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan rinci, ia memaparkan berbagai contoh
ayat sebagai bukti atas pernyataannya.
Dalam hal ini, sekte yang paling disorot adalah Mu’tazilah dan
Ahlus Sunnah.[34]
Kedua sekte ini sama-sama mencari legitimasi dari al-Qur’an atas kebenaran
akidahnya, sehingga bisa menjaring anggota dan pengikut yang lebih banyak. Sebut saja seorang tokoh Mu’tazilah
terkemuka, Zamakhsyari (467-538 H), yang menulis kitab tafsir “al-Kasysyaf
‘an Haqaiq ghowamidh at-Tanzil”.[35]
Dalam tafsir ini, terlihat dengan jelas tendensi Zamakhsyari dalam menafsirkan
al-Qur’an sesuai dengan selera sektenya. Misalnya, ketika ia menafsirkan ayat
105 Surat Ali Imran: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka….”. Ia menafsirkan kata “orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih” dengan golongan Musyabbihah, Hasyawiyah, dan sebagainya, di
mana term-term itu adalah sebutan Zamakhsyari untuk golongan Ahlus Sunnah.[36]
Di antara ayat yang diperselisihkan antara Mu’tazilah dan Ahlus
Sunnah adalah ayat-ayat tentang iman terhadap khurafat dan hal-hal yang
menakjubkan[37],
percaya terhadap adanya jin[38],
karomah para wali[39],
dan sebagainya. Di mana Mu’tazilah dalam hal ini menjadi kubu penentang,
sementara Ahlus Sunnah meyakini eksistensi dari hal-hal tersebut.
c)
Tafsir fi
Dhau’i at-Tashawwuf al-Islami (Tafsir Sufi)
Gerakan tasawuf mengalami beberapa tahapan, dimulai dari sikap zuhudi
terhadap dunia, hingga akhirnya bermuara pada hakikat Allah sebagaimana
ajaran hulul. Gerakan ini juga berusaha mencari dasar legitimasi dari
al-Qur’an, walaupun memang diakui bahwa menemukan legitimasi secara nyata dari
al-Qur’an bukan merupakan hal yang mudah bagi para sufi.[40]
Sebab, mereka tidak berkutat pada makna lahiriah al-Qur’an, akan tetapi
berusaha menemukan makna tersirat di balik lafadz-lafadznya.[41]
Dengan asumsi bahwa al-Qur’an memiliki makna tersirat inilah, para
sufi berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan selera dan frame work
mereka, yang kemudian penafsiran dengan tendensi ini disebut dengan tafsir
sufi.
Gerakan penafsiran ini dimulai oleh gerakan Ikhwanus Shafa
di Bashrah pada abad sepuluh Masehi,[42]
walaupun pada hakikatnya Ikhwanus Shafa tidak bergerak dalam bidang
tasawuf, namun benih-benih munculnya tafsir ala sufi ini dimulai dari gerakan
tersebut.
Ihkwanus Shafa adalah sebuah
gerakan yang membidangi permasalahan politik di masa Khilafah Abbasiyah,
namun kemudian beralih haluan menjadi gerakan keagamaan yang bersikap asketisme
layaknya para sufi.
Dalam menafsirkan al-Quran, terutama menafsirkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan ketuhanan, zat, sifat ataupun perbuatan Tuhan. Para sufi
Islam senantiasa melihat sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam al-Quran dengan
perhatian penuh, untuk memeliharanya dalam satu integralitas atau beberapa hal
lain dari dua hal berbeda.
c.
Metodologi
Ignaz Goldziher
Dilihat dari buku Goldziher tersebut, nampaknya ia menggunakan Historical Approach (pendekatan sejarah) dan diakronis.
Dikatakan menggunakan pendekatan kritik Sejarah, sebab untuk menemukan dan
menyimpulkan aliran-aliran Tafsir, ia melakukan penelusuran sejarah dengan
memilah-milah mana yang merupakan data sejarah dan mana yang berupa fakta
sejarah. Data sejarah adalah segala informasi yang berkaitan dengan sejarah
tertentu, tanpa adanya validasi otentisitasnya. Berbeda dengan fakta sejarah,
dari berbagai data sejarah tersebut, kemudian dianalisis dan dipilih data yang
paling banyak didukung oleh bukti sejarah.
Kajiannya juga dikatakan bersifat diakronis, sebab usahanya dalam
menelusuri sejarah bukan tertentu pada satu kurun saja, namun lintas masa.
[1] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm. 129.
[2]Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm. 129.
[3] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm. 129-130.
[4] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat (Yogyakarta:
LKiS,
2003), hlm. 130.
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm. 130-131.
[6] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003),hlm. 132.
[7] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003),hlm. 132-133.
[8]Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, (Terj.) oleh
Amroni Drajat
(Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm. 133.
[9]Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 55-56.
[10] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 4.
[11] Muhammad Ali Shabuni, At-Tibyan
fi Ulum al-Qur’an (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2003), hlm. 215-218.
[12] Muhammad Hasan Jabal, Ar-Rad
‘ala al-Mustasyriq al-Yahudi Goldziher fi Matha’inihi ‘ala al-Qira’ah
al-Qur’aniyah (Tonto: Tanpa Penerbit, cet. II,
2002), hlm. 84.
[13] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 8.
[14] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 8
[15] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955) hlm. 9.
[16] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955) hlm. 10-11.
[17] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955)
[18] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955) hlm. 13.
[19] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir
al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja,
1955),hlm. 14.
[20] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm.
15-16.
[21]Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 21
[22] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 73.
[23] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 78.
[24] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 80.
[25] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 82.
[26] Fahd bin Abd. Rahman Rumi, Buhuts
fi Ushul at-Tafsir wa Manahijihi (Tanpa Tempat: Maktabah at-Taubah, t.t),
hlm. 71.
[27] Anshori, Tafsir
bil Ra’yi: Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), hlm. 2.
[28] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 83.
[29] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 83
[30] Anshori, Tafsir
bil Ra’yi: Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), hlm. 9.
[31] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 101.
[32] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 106.
[33] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja,
1955), hlm. 107.
[34] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 124.
[35] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah el-Khanja,
1955), hlm. 141.
[36] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 148.
[37] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 162.
[38] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 165.
[39] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 167.
[40] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 201.
[41] Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 203.
[42]Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir al-Islami, (Terj.) oleh Abdul Halim Najjar (Mesir: Maktabah
el-Khanja, 1955), hlm. 208.
Komentar
Posting Komentar