Penulisan AL-Quran atau Rasm AL-Quran


PENULISAN AL-QUR’AN atau RASM AL QUR’AN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu :
Muhammad Ridho,M.A
Description: Description: D:\Documents\Lain-Lain\logo IAIN.jpg

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.    Puput Asma’ul Khusna               (2817133144)
2.    Rifki Ika Afida                          (2817133154)
3.    Rizqi Astri Rokhmahningtyas     (2817133165)
4.    Salis Hidayati                              (2817133175)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEPENDIDIKAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2014
KATA PENGANTAR
            Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, taufik serta hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Penulisan Al-Qur’an atau Rasm Al-Qur’an” Dalam rangka memenuhi  tugas  kelompok  mata kuliah “Ulumul Qur’an” yang diberikan oleh dosen Bapak Muhammad Ridho,M.A

            Akhirnya  makalah  ini  dapat   kami  selesaikan  berkat bimbingan dan arahan dari dosen  pengasuh   yang   memberikan  bahan-bahan  materi. Selanjutnya, kepada semua pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan dukungan hingga makalah ini dapat selesai tepat waktu penulis ucapkan terima kasih.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan  kritik dan saran yang membangun dari para pembaca unuk kesempurnaan pembuatan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

                                                                                    Tulungagung, 21 Maret 2014

                                                                                                            Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................      ii
Daftar Isi........................................................................................................      iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................      1
1.1  Latar Belakang................................................................................      1
1.2  Rumusan Masalah...........................................................................      2
1.3  Tujuan.............................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................      3
2.1 Proses Penulisan Al-Qur’an............................................................      3
2.1.1 Pada Masa Nabi....................................................................      3
2.1.2 Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin.........................................      4
2.2 Rasm Al-Qur’an..............................................................................      8
2.2.1 Pengertian Rasm Al-Qur’an..................................................      8
2.2.2 Pola Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an....................      12
2.2.3 Perkembangan Rasm Al-Qur’an...........................................      14
2.2.4 Pendapat Para Ulama’ Sekitar Rasm Al-Qur’an...................      15
2.2.5 Kaitan Rasm AlQur’an dengan Qira’at................................      17
BAB III PENUTUP......................................................................................      19
3.1 Kesimpulan.....................................................................................      19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................      vi


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Para Sejarawan Arab mengakui bahwa tulisan mereka berasal dari penduduk Hirah dan Anbar. Hirah adalah sebuah kota di daeraha Najaf yang terletak 3 mil dari Kufah, sedangkan Anbar adalah kota di tepi sungai Eufrat yang terletak 30 mil dari Bagdad.
Orang Anbar dan Hirah sendiri sesungguhnya bukan termasuk pencipa tulisan. Mereka mendapatkan ulisan dari orangorang Kindah (dari kabilah Kahlan yang tinggal di sebelah selatan Jazirah Arabia) dan dari orang Nabthi. Bangsa yang disebut paling akhir mempunyai kerajaan yang kekuasaannya membentang dari Damaskus sampai Wadi Qura dekat Madinah samapi Teluk Suez. Orang-orang Nabthi, menukil tulisan mereka dari Al-Musnad, jenis ulisan yang dipakai oleh orang Arami[1].
Para sejarawan Arab, kata Al-Zanjani, sependapa bahwa ulisan Arab dikenal di Mekkah melalui seorang bernama Harb bin Umayyah bin Abu Al-Syams, dan Harb belajar kepada Bisyr bin Abd Al-Malik, saudara Ukaidir, si tokoh Daumatu Al-Jandal.
Sampai Islam datang telah banyak penduduk Mekah yang menguasai tulissan yang dibwa Harb etapi juga ada yang buta huruf (Ummiy). Buta hurufnya Rasulullah SAW justru merupakan hal positif karena kalau orang yang mengemban wahyu mampu membaca dan menulis, tentu para pembangkang mengira Al-Qur’an  karangan dari Nabi Muhammad SAW.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang kami menyimpulkan beberapa masalah-masalah, yaitu:
1.      Menjelaskan proses penulisan Al-Qur’an di masa Nabi dan Khulafa’ Al-Rasyidin!
2.      Menjelaskan maksud dari Rasm Al-Qur’an, pola hukum dan perkembangannya!
3.      Menjelaskan  Pendapat para Ulama’ sekitar!
4.      Dan menjelaskan kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at!

1.3. Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah ialah:
1.      Untuk mengetahui proses penulisan Al-Qur’an di masa Nabi dan Khulafa’ Al-Rasyidin
2.      Unuk memahami maksud dari Rasm Al-Qur’an, pola hukum dan perkembangannya
3.      Mengetahui  Pendapat para Ulama’ sekitar
4.      Dan mengetahui kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Proses Penulisan Al-Quran
2.1.1 Pada Masa Nabi
Kerinduan nabi terhadap datang nya wahyu tidak saja diekpresikan dalam bentuk hapalan,tetapi juga dalam bentuk tulisan. Proses penulisan Al-Quran pada masa nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu,pelepah kurma,tulang belulang,dan batu.[2]
Di antara fakor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah:
1.      Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2.      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna,karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat.  Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa nabi,Al-Quran tidak tertulis ditempat tertentu[3].
Karakteristik penulisan Al-Quran pada masa Nabi ditulis tidak pada satu tempat,melainkan pada tempat yang terpisah-pisah.  Hal ini tampaknya bertolak belakang dari dua alasan berikut,yaitu:
1.      Proses penurunan Al-Quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat ang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu.
2.      Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Quran tidak bertolak dari kronologi turunya,tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainya,atau antara satu surat dengan surat yang lainya.
2.1.1 Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1.      Pada masa Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya seluruh Al-Quran,sudahnya saja ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja,pada saat itu surt-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terper-terpencar. Dan orang yang pertama kali menyusunya alam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karna itu,Abu ‘Abdillah Al Muhasibi[4] berkata didalam kitabnya, Fahm As-Sunan,”Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru. Sebab,Rasulullah pernah memerintahkanya. Hanya saja,saat itu tulisan Al-Quran berpencar-pencar pada pelepaah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu bakar  kemudian berinisiatif menghimpun semuanya[5].” Abu bakar mengintruksikan pengumpulan Al-Quran dari berbagai sumber,baik yang tersimpan didalam hapalan maupun tulisan[6]. Tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar,’Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Quran yang sudah terkumpul itu dinamakan ”Mushaf”.


2.      Pada Masa ‘Utsman bin Affan
Penjelasan tradisional,berupa hadist Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Quran menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qiraat Al-Quran terdapat dalam salinan-salina Al-Quran yang ada pada masa ‘Utsman bin ‘Affan di berbagai wilayah. Kesuluruhan Al-Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Quran selesai digarap.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
a.       Lafadz yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik,sedangkan lafadzn lebih yang dibaca dengan lebih satu qiraat ditulis dengan rasm yang berbeda dengan tiap-tiap mushaf. Mereka juga menghindari dugaan bahwa rasm itu merupakan koreksi untuk yang lainya.
b.      Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan bahwa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut. ‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a.       Harus terbukti mutawatir,tdak ditulis berdasarkan riwayat ahad[7]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaanya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c.       Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini,berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman.
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencangkup qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Quran ketika turun
e.       Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan.
Perbedaan penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan pada masa ‘Utsman bin ‘Affan,dapat dilihat berikut ini:
Pada Masa Abu Bakar
Pada Masa ‘Utsman bin ‘Affan
1.      Motivasi penulisanya adalah khawatir sirnanya Al-Quran dengan syahidnya beberapa penghapal Al-Quran pada perang Yamamah.
2.      Abu Bakar melakukanya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang terpencar-pencar pada pelapah kurma,kulit,tulang,dan sebagainya.
1.      Motivasi penulisana karena terjadinya banyak perselisihan didalam cara membaca Al-Quran (qira’at)
2.      ‘Utsman melakukanya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang denganya Al-Quran turun.[8]

3.        Penyempurnaan Penulisan Al-Quran setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Setelah banyak orang non-arab memeluk islam,mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tokoh yang berjasa dalam hal ini,yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.). Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.[9]
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus,tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi pada abad III H (atau akhir abad IX M.) ketika  penyempurnaan naskah Al-Quran (mushaf ‘Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ‘Ustmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Da’uli,Yahya’ bin Ya’mar (45-129  H.),dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits (w. 89 H.).[10]
Upaya penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Dan untuk pertama kalinya,Al-Quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1930 M,tetapi begitu keluar penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam ini. Atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelman pada tahun 1964 M. di Hamburg (Jerman). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1968 M. di Padaue. Sayangnya,tak satupun dari ketiga cetakan tersebut yang tersisa didunia Islam. Dan sayangnya pula,perintis penerbitan Al-Quran pertama itu bukan dari kalangan bukan muslim.[11]
Penerbit Al-Quran dalam label Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkanya adalah Maulaya ‘Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Saint-Petersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘Ashim. Sejak itu,berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan diberbagai Negara.[12]
2.1  Rasm Al-Qur’an
            2.2.1.   Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan rasm Al-Qur’an atau rasm ‘Utsmani atau rasm ‘Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu.[13] Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah yaitu Al-Hadzf, Al-Ziyadah, Al-Hamzah, Al-Badal, dan Al-Fashl wa Al-Washl.[14]
·         Al-Hadzf
Al-Hadzf berarti membuang, menghilangkan atau memindahkan huruf.
1.      Menghilangkan Huruf Alif
a.       Dari Ya’ Nida’. Misalnya: يا يها ا لنا س
b.      Dari Ha’ Tanbih. Misalnya: ها نتم
c.       Dari kata Na (arab). Misalnya: ((أ نخينكم),نا)
d.      Dari lafaz Jalalah ألله
e.       Dari dua kata الرحمن dan سبحن
f.       Sesudah huruf Lam. Misalnya: خلتف
g.      Setelah dua huruf Lam. Misalnya: الكلله
h.      Dari semua mutsanna. Misalnya: رجلن
i.        Dari setiap jama’ tashih baik mudzakar maupun mu’annats. Misalnya: سمعون dan المومنت
j.        Dari semua jama’ yang se-wazan dengan مسجد dan النصرء
k.      Dari semua kata bilangan. Misalnya: ثلث
l.        Dari basmalah.
2.      Menghilangkan Huruf Ya’
Huruf ya’ ي dibuang dari setiap manqush munawwan baik berharakat rafa’ maupun jar. Misalnya: ...غيرباغ ولاعار
Termasuk yang dihilangkan huruf ya’ kata  أمليعوناتقونفارهبونخافون, dan فأرسلون kecuali pada beberapa pengecualian.
3.      Menghilangkan huruf wawu (و)
Huruf wawu (و)apabila terletak bergandengan. Misalnya: لايستون  dan فأرسلون
4.      Mehilangkan huruf Lam
Huruf lam dilambangkan apabla dalam keadaan idgam. Misalnya: اليل dan الذىkecuali yang dianggap eksepsi.
Di luar penghilangan empat huruf di atas, ada penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan (hadzf) huruf alif pada kata مالك dan hadzf ya’ dari kata ابرهيم hadzf wawu pada empat fi’il (kata kerja) berikut: (ويدع الانسان)-(يمح الله)-(يوميدع الدع) dan (سندع لنربانية).
·         Al-Ziyadah
Ziyadah berarti penambahan. Kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani adalah alif, ya, dan wawu.
1.      Menambah Huruf Alif
a.       Menambah huruf alif setelah wawu pada akhir setiap Isim Jama’ atau yang mempunyai hukum jama’. Miasalnya:اولوالااباب, dan بنوا إسرعيل.
b.      Meanambah alif setelah hamzah marsumah wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu). Misalnya: تالله تفتؤا asalnya demikian تالله تفتأ.
c.       Menambah huruf ya’  يpada kalimat وايتاى ذى القربى.
·         Al-Hamzah
Apabila hamzah berharakat sukun, maka ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, misalnya ائذناؤتمن kecuali pada beberapa kata yang dieksepsikan.
Adapun hamzah (ء) yang ber-harakat, jika ia berada di awal kata, dan bersambung dengannya (dengan hamzah) huruf tambahan, mutlak harus ditulis dengan alif, dalam keadaan ber-harakat fathah atau kasroh.
Misalnya : أيوباولوا dan فبأئ, kecuali beberapa kata yang dieksepsikan.
Adapun apabila hamzah (ء) terletak di tengah, maka ia ditulis sesuai dengan huruf harakat-nya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah dengan ya dan kalau dhammah dengan wawu. Misalnya : سيل سأل, dan تقروه
Di luar ketentuan ini, ada beberapa kata yang dieksepsikan.
·         Badal
1.      Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة) dan (الزكوة) serta (الحيوة) kecuali yang dieksepsikan.
2.      Huruf alif ditulis dengan (ي) pada kata-kata berikut: (إلى), (على), (أنى) yang berarti (كيف) (bagaimana), (متى), (بلى), (حتى), dan (لدى)
3.      Huruf alif diganti dengan nun pada taukid kahfifah kata (إذن)
4.      – Huruf Ha’ Ta’nits (ة) dengan huruf Ta’ Maftuhah pada kata: (رحمت) dalam surah Al-Baqarah, Al-A’raf, Hud, Maryam, Al-Rum, dan Al-Zukhruf.
5.      Huruf Ha’ Ta’nits ditulis dengan Ta’ Maftuhah pada kata (نعمت) yang terdapat dalam surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Maidah, Ibrahim, Al-Nahl, Luqman, Fathir, dan Al-Thur. Demikian juga pada (معصيت الله) dan (لعنت الله) yang terdapat pada surah Al-Mujadilah.
·         Washal dan Fashal
Washal artinya menyambung. Yang dimaksud di sisni adalah metode penyambungan kata (dalam bahasa Arab disebut huruf, jadi penyambungan dua huruf) yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.
1.      Bila ‘an (أن) (dengan harakat fathah pada hamzahnya) disusul dengan la (لا), maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun. Misalnya (ألا), tidak ditulis (أن لا). Kecuali pada kalimat (أن لاتقولو) dan (arab).
2.      Min (من) yang bersambung dengan mad (ما) penulisanya disambung dan huruf nun pada min-nya tidak ditulis. Misalnya : (امما).
Kecuali pada (منماملكت ايمانكم) yang terdapat di dalam surah Al-Nisa’ dan Al-Rum serta (ومن مارزقناكم) pada surah Al-Munafiqun.
3.      Min (من) yang disusul dengan man (من) ditulis bersambung dengan menghilangkan huruf nun (ن). Sehingga menjadi (ممن) bukan (من من)
4.      ‘An (عن) yang disusul dengan ma (ما) ditulis bersambung dengan menghilangkan nun (ن). Sehingga menjadi (عمن) bukan (عن من). Kecuali pada firman Allah yang berbunyi: (ويميرفه عن من يشاء)
5.      In (إن) yang disusul dengan ma (ما) ditulis bersambung dengan meniadakan nun (ن). Sehingga menjadi (إما). Kecuali pada firman Allah: (إن ماتوعدون)
6.      ‘An (أن) yang disusul dengan ma (ما) mutlak disambung dan huruf nun (ن) nya ditiadakan. Sehingga menjadi (أما).
7.      Kul (كل) yang diiringi ma (ما) disambung. Sehingga menjadi (كلما). Ketentuan ini dieksepsikan pada firman Allah yang berbunya: (من كل ماسلتموه) dan (كل ما ردواالىالمتنة)
·         Kata yang bisa dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam musahaf “Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin” (ملك يوم الدين). Ayat di atas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).[15]

   2.2.2.   Pola, Hukum, dan Kedudukan Rasm al-Qur’an
Kedudukan rasm ‘Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Jumhur ulama berpendapat bahwa pola rasm ‘Utsmani bersifat tawqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi Saw. Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan di dalam rasm ‘Utsmani tidak bersifat tawqifi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan al-Qur’an versi Mushaf Utsmani diperselihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa di antaranya menyalahi kaiadah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmaf ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat bahawa haram hukumnya menulis al-Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ‘ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tawqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna        Al-Qur’an.
Sebagian ulama lain mengkrompomikan kedua pendapat di atas dengan mengatakan bahwa penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm ‘Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur’an, sedang rasm ‘Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian musahaf al-Qur’an.

2.2.3 Perkembangan Rasm al-Qur’an
            Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat  wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan stanadar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Diantara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya diketahui penulisnya.
            Pada masa pemulaan islam mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Belum ada tanda-tanda berupa titik, sehinnga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س) dan syin (ش), antara tha’(ط) dan zha’ (ظ), antara jim (ج), ha’ (ح), dan kha’ (خ), dan setursnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya, karena mereka rata-rata masih mengandalakan hafalan.
            Kesulitan muncul ketika dunia islam meluas ke wilayah-wilayah non arab. Masalah ini mulai disadari oleh pemimpin dunia islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyah ibn Abi Sufyan  (661-680 M.)[16]- riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib[17] - ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwaili membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.
            Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan( 685-705 M.) memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Quran. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya.
2.2.4 Pendapat Para Ulama sekitar Rasm Al-Qur’an
            Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasm al-Qur’an(tata cara penulisnan Al-Qur’an):
a.    Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani itu bersifat tauqifi[18]yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Qur’an. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya,[19]
ألق الد واةوحرف القلم وانصب الباء وفرقااسين
ولاتعورالميم وحسن الله و مد الرحمن وجود الرحيم
وضع قلمك على أذنك اليسرى, فانه أذكرك
Artinya:
“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat bagusah (tulisan) al-rahman dan buatlah bagus (tulisan) al-rahim. Lalu, letakkan penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat.”
          Mengomentari pendapat diatas, Al-Qaththan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm ‘Utsmani menjadi tauqifi. Rasm ‘Utsmani murni merupakan kreatif panitia empat atas persetujuan ‘Utsman. Pedoman cara penulisan yang digunakan panitia itu adalah pesan ‘Utsman kepada tiga orang di antara panitia yang berasal dari suku Quraisy. Pesan itu adalah:
إذا اختلفتم أنتم وزيدبن ثابث في شيء من القران
فاكتبوه بلسان قريش, فإنه إنما نزل بلسانهم
Artinya:
“Jika kalian berbeda pendapat(ketika menulis mushaf) dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan lisan Quraisy, karena dengan lisan itulah, Al-Qur’an turun.”[20]
          Bantahan serupa dikemukakan Subhi Shalih. Ia mengatakan ketidaklogisan rasm ‘Utsmai disebut-sebut tauqifi. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji, seperti alif lam mim, alif lam ra, yang terdapat di awal beberapa surat. Karena huruf- huruf tahajji itu status Qurannya mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm ‘Utsmani baru lahir pada masa pemerintahan ‘Utsman. ‘Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi.[21]
b.    Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun yang menulis al-Qur’an. Tidak ada yang boleh menyalahinya.[22]
c.    Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ’Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang nota bene berlainan dengan Rasm ‘Utsmani.[23] Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata, “Adapun tulisan, sedikitpun Allah tidak mewajibkan kepada umat. Allah tidak mewajibkan juru tulis-juru tulis Al-Qur’an dan kaligrafer mushaf-mushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab, keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an atau hadis. Padahal, tidak ada didalam nash-nash Al-Qur’an, tidak juga tersirat dari suatu (mafhum)-nya yang mengatakan bahwa rasm hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan ketetapan tertentu yang boleh dilanggar; tidak juga di daam sunnah yang mewajibkan dan menunjukkan demikian. Dan tidak pula ditunjukkan qiyas syar’i. Bahkan, sunnah menunjukkan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Berkaitan dengan ketiga pendapat diatas,  Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Qur’an dari perubahan dan penggantian hurufnya.
2.2.5 Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘Utsmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hai itu dibuktikan dengan masih terdapanya keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah.
I mushaf ‘Ustmani, seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh dan qira’ah empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami ibn Mujahid (859-935) untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah). Tentu bukan ia saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks ini, umpamanya Malik bin Anas (w.795), ulama besar Madinah dan pendiri madzab Maliki. Ia dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan menurut bacaan Ibn Mas’ud adalah tidak sah.[24]

PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh, ialah:
1)      Proses penulisan Al-Qur’an
a)      Pada masa Nabi
Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, mempresentasikan wahyu dengan cara paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetapi terpelihara walaupun pun pada masa Nabi, Al-Qur’an tidak ditulis ditempat di tempat tertentu.
b)      Pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin
v  Pada masa Abu Bakar
Motivasi penulisan adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur’an pada perang Yamamah. Dan Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
v  Pada masa ‘Usman bin ‘Affan
Motivasi penulisannya karena erjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Qur’an (Qira’at) dan ‘Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada huruf dari tujuh huruf yang dengan Al-Qur’an turun.
2)      Rasm Al-Qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaiu mushaf yang ditulis paniia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah tersebut menjadi enam istilah, yaitu:
a.       Al-Hadzf
b.      Al-Jiyadah
c.       Al-Hamsah
d.      Badal
e.       Washl dan Fashl
f.       Kata yang dapat dibaca dua bunyi
3)      Pola hukum kedudukan Rasm Al-Qur’an
Ulama lain mengkrompomikan kedua pendapat dengan mengatakan bahwa penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm ‘Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur’an, sedang rasm ‘Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian musahaf al-Qur’an.
4)      Perkembangan Rasm Al-Qur’an
Khalifah Abdul Malik ibn Marwan( 685-705 M.) memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Quran. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya.

5)      Pendapa Para Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an
a.         Sebagian dari mereka berpendapa bahwa Rasm ‘Usmani bersifa Tauqifi.
b.         Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikui dan ditaai siapa pun ketika menulis Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya.

6)      Kaitan Rasm Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘Utsmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hai itu dibuktikan dengan masih terdapanya keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah.







DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Prof.Dr, M.Ag. 2013. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Bandung
Jalaludin As-Suyuthi,Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran,Dan Al-Fikr,Beirut,t.t.,Jilid I
Hermawan, Acep, M.Ag. 2011. Ulumul Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Yatim, Badri, Dr. dkk. 2008. Sejaraj Ulumul Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Karya




[1] Lihat Wawasan Baru Tarikh Al-Qur’an hlm.39
[2] .Syahbah,op.cit.,hlm 241.
[3] .Ibid., hlm 242.
[4] .Ia adalah Al Harist bin Asad Al-Muhasibi dan diberi kunyah’Abdullah.
[5]. Jalaludin As-Suyuthi,Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran,Dan Al-Fikr,Beirut,t.t.,Jilid I, hlm. 60.
[6] . Ash-Shalih,op. cit., hlm.74.
[7] . Riwayat yang tidak sampai pada derajat mutawatir.

[9] Shalih, op. cit., hlm. 89-91.
[10] . Ibid., hlm. 93-94.
[11] Ibid., hlm. 99.
[12] . Ibid.
[13] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., ULUM AL-QUR’AN, (BANDUNG:CV PUSTAKA SETIA,2007), hal. 48
[14] Buku 2
[15] Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an
[16] Abdul Qadir, loc. Cit.
[17] Lihat, Manna’ al-Qaththan, op. Cit., h. 150
[18] Yakni bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya.
[19] Al-Qaththan. Op. Cit., hlm. 146-147.
[20] Ibid.,
[21] Ash-Shalih, op. Cit., 277.
[22] As-Qaththan, op.cit., hlm. 147.
[23] Al-Qaththan, op. Cit., hlm. 148.
[24] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to he Qur’an, Edinburgh Universiy Press, 1991, hlm 48.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MADZAB TAFSIR “Pengertian, wilayah kajian dan signifikansinya”

Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan “Tafsir Indonesia”